Oleh: Nanang Sutrisno
“Teng,
teng, teng,” bunyi bel tanda berakhirnya jam pelajaran siang di SMA Negeri 1
Peracikan. Murid-murid berhamburan keluar dari ruang kelas seperti gelembung
sabun mainan yang ditiupkan dari lubang kecil oleh anak-anak. Ada beberapa yang
masih berbincang-bincang. Ada yang bercanda dengan teman-temannya. Namun ada
juga yang langsung ke tempat parkir sepeda yang terletak di area paling belakang
halaman sekolah.
”Sik,
asik, asik...cihuy, akhirnya dapat juga” pekik Dido di depan ruang kelas sambil
melambai-lambaikan secarik kertas yang dipegangnya, seperti seorang sales yang sedang menyebarkan brosur
promosi agar produknya dibeli oleh konsumen.
”Kamu
kenapa Do? Teriak-teriak ga jelas gitu. Habis dapet durian jatuh ya? Hmm....atau
si Dinda ngajakin kamu ketemuan...atau jangan-jangan kamu baru dapet gebetan
baru ya” kata Oky keheranan.
”Ngawur
kamu. Ga mungkinlah aku bakalan menduakan Dinda, cukup hanya ada satu Dinda di
hatiku. Karena hanya ada satu bulan untuk bumi. Hehehehe.” Jawab Dido sambil menyodorkan
kertas yang tadi dia pegang kepada sahabatnya itu.
”Ah,
sok puitis kamu. Hah?? Beneran nih kamu dapat beasiswa kuliah di Belanda?”
sambil memukul pipinya sendiri, seperti seseorang yang ingin menyadarkan orang
lain dari pingsan.
”Ky,
hari ini akan menjadi awal sejarah baru dalam hidupku.” Kata Dido sambil
memegang pundak Oky dan menatap matanya.
Kemudian
Oky memeluk sahabatnya itu.
”Iya,
Do. Kejar terus cita-citamu sampai kamu meraihnya. Aku akan selalu mendukungmu.”
Kata Oky.
***
Dido
dan Oky adalah dua siswa kelas XII (kelas 3) semester terakhir yang telah
selesai mengikuti ujian akhir di SMA Negeri 1 Peracikan. Sejak kelas 1 mereka telah
bersahabat. Keduanya mengambil studi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Dido
orangnya supel, mudah bergaul dengan orang lain, dan dia memiliki cita-cita
menjadi seorang ahli sejarah. Hingga akhirnya dia mengikuti tes beasiswa ke
Universitas Leiden di Belanda.
Lain
halnya Oky. Bukan karena cita-cita sendiri ia memilih studi jurusan IPS, tapi
karena ayahnya menginginkan dia menjadi seorang pengacara. Meskipun bertolak
belakang dengan keinginannya untuk menjadi seorang musisi terkenal, tapi Oky
tetap memilih studi jurusan IPS karena ia tidak ingin mengecewakan orang
tuanya.
Dinda
adalah kekasih Dido. Sejak kelas dua mereka mulai menjalin hubungan. Dinda
mengambil studi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Meskipun berbeda jurusan tapi
keduanya memiliki hobi yang sama. Mendaki gunung. Mereka juga aktif di
ekstrakurikuler Pecinta Alam. Hingga keduanya menjadi akrab dan mulai memiliki
kedekatan. Dinda adalah gadis yang periang, feminim, cerdas dan berprestasi,
tapi terkadang agak pendiam.
***
Setelah
menunggu selama dua bulan setelah ujian. Akhirnya pengumuman kelulusan telah
diterbitkan oleh sekolah. Dido, Oky, dan Dinda ketiganya lulus dengan nilai
yang memuaskan. Mereka merayakannya dengan melakukan liburan ke Pulau Bali
selama dua hari. Liburan itu terasa sangat singkat karena Dido harus segera
kembali untuk mengurus segala keperluannya ke Belanda.
***
Cawan
sudah dekat di bibir, tinggal mereguk isinya saja. Waktu keberangkatan Dido ke
Belanda sudah semakin dekat. Surat-surat sudah diurus. Tinggal menunggu waktu
keberangkatan ke negeri kincir angin itu. Namun, satu hal yang masih mengganggu
pikiran Dido. Dinda.
Sejak
diberitahu tentang keberangkatan Dido ke Belanda semakin dekat, sikap Dinda
banyak berubah. Awalnya Dinda sempat tidak percaya dengan kabar tersebut.
Bahkan dia dan Dido sempat berdebat tentang hal itu. Namun, setelah rukun lagi
dia malah semakin lengket kepada Dido, tidak seperti biasanya. Dinda belum bisa
merelakan kepergian Dido. Begitu juga Dido. Dia juga berat untuk meninggalkan
Dinda. Namun, Dido harus berani mengambil keputusan.
***
Waktu
yang ditunggu telah tiba. Keberangkatan Dido ke negeri kincir angin itu sudah
tidak dapat ditunda lagi. Diantarkan ibu, dan dua adiknya. Serta Dinda dan Oky.
Keberangkatan Dido diiringi pelukan dan tetesan air mata perpisahan. Ayah Dido
tidak ikut mengantar Dido ke bandara. Karena subuh sebelum hari keberangkatan
itu ayahnya jatuh sakit. Penyakit lambungnya kambuh, hingga harus dirawat di
rumah sakit. Namun ayahnya telah mengizinkan Dido untuk pergi, bahkan
memotivasinya agar giat belajar dan berhati-hati hidup di negeri orang. Ibunya juga
berpesan agar sering-sering memberi kabar ke rumah. Begitu juga Oky berpesan
agar menyempatkan waktu untuk mengirim e-mail. Namun, Dinda tak mampu
mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya memberikan sebuah kotak kecil yang
dibalut kertas bermotif bunga daisy sembari mencium pipi kiri Dido.
***
Blazer
hitam yang dikenakan Dido semakin lama semakin tak terlihat setelah melewati
tempat pemeriksaan penumpang. Dido pergi.
***
Berat
memang jika pertama kali pergi jauh. Itu yang dirasakan Dido saat transit di Changi Internasional Airport, Singapura.
Penasaran dengan kotak yang diberikan Dinda saat di bandara kemudian Dido
mengeluarkan kotak bermotif bunga dari saku blazernya. Setelah menyobek
pembungkusnya. Tiba-tiba HP-nya bergetar. Ada sms dari ibunya. Dido secepat
mungkin membukanya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih
memegang kotak bermotif daisy yang terbuka separuh. Dan nampak isi kotak kertas
itu adalah sebuah kotak berbalut sutra berwarna biru gelap dan dari dalamnya
terlihat rantai lembut berwarna perak menjuntai dari tempatnya. Kalung.
***
Dido
tersentak membaca SMS dari ibunya.
Do, sakit ayah semakin parah, dokter
bilang kesempatan hidup ayah sangat kecil. Diperkirakan hanya tinggal dua jam
lagi ayah mampu bertahan. Sekarang ibu sedang di rumah sakit. Menunggui ayah.
Dido
menjadi lemas seketika setelah membaca SMS dari ibunya. Air matanya mengalir
tak tertahankan. Hatinya tersayat. Batinnya tertekan.
Dan
dia menoleh ke tangan kirinya melihat kalung perak dengan liontin separuh hati seperti
yang masih ia pakai yang dulu pernah diberikannya untuk Dinda sebagai tanda
cintanya. Dan secarik kertas.
Dido, maafin aku. Cintaku ga bisa
bertahan tanpa ada kamu di sini. Kini separuh hatimu aku kembalikan dan
pergilah tanpa beban. Lupakan aku.
Dinda.
Remuk
hati Dido membaca pesan di secarik kertas itu. Perihnya tak tertahankan, tak
ubahnya luka yang direndam dengan air garam. Luka karena akan ditinggalkan.
Luka karena dilupakan.
Bersamaan
dengan itu, terdengar suara operator penerbangan memanggil penumpang untuk
menaiki pesawat. Kaki Dido berat untuk melangkah. Lemas. Lunglai.
Kemana
aku harus pergi? Dido bergumam.
Cita-cita,
cinta, atau keluarga?
Ruang
tunggu, penantian, orang-orang yang berlalu lalang memaksa Dido untuk terus
diam. Mengerang. Berdiam di antara dua pahit. Kemana harus memohon ajar saat
berada di simpang gusar? Deru mesin pesawat semakin membuatnya gentar.
Tenggorokannya kering. Pandangannya nanar.
Jangan lupa komen ya..thanks..
ReplyDeleteterus kelanjutane piye iki????
ReplyDeleteending e urung ketemu.....
Endingnya masih rahasia...
ReplyDelete