Wednesday 16 May 2012

DIANTARA DUA PAHIT


Oleh: Nanang Sutrisno

“Teng, teng, teng,” bunyi bel tanda berakhirnya jam pelajaran siang di SMA Negeri 1 Peracikan. Murid-murid berhamburan keluar dari ruang kelas seperti gelembung sabun mainan yang ditiupkan dari lubang kecil oleh anak-anak. Ada beberapa yang masih berbincang-bincang. Ada yang bercanda dengan teman-temannya. Namun ada juga yang langsung ke tempat parkir sepeda yang terletak di area paling belakang halaman sekolah.
”Sik, asik, asik...cihuy, akhirnya dapat juga” pekik Dido di depan ruang kelas sambil melambai-lambaikan secarik kertas yang dipegangnya, seperti seorang sales yang sedang menyebarkan brosur promosi agar produknya dibeli oleh konsumen. 

”Kamu kenapa Do? Teriak-teriak ga jelas gitu. Habis dapet durian jatuh ya? Hmm....atau si Dinda ngajakin kamu ketemuan...atau jangan-jangan kamu baru dapet gebetan baru ya” kata Oky keheranan.
”Ngawur kamu. Ga mungkinlah aku bakalan menduakan Dinda, cukup hanya ada satu Dinda di hatiku. Karena hanya ada satu bulan untuk bumi. Hehehehe.” Jawab Dido sambil menyodorkan kertas yang tadi dia pegang kepada sahabatnya itu.
”Ah, sok puitis kamu. Hah?? Beneran nih kamu dapat beasiswa kuliah di Belanda?” sambil memukul pipinya sendiri, seperti seseorang yang ingin menyadarkan orang lain dari pingsan.
”Ky, hari ini akan menjadi awal sejarah baru dalam hidupku.” Kata Dido sambil memegang pundak Oky dan menatap matanya.
Kemudian Oky memeluk sahabatnya itu.
”Iya, Do. Kejar terus cita-citamu sampai kamu meraihnya. Aku akan selalu mendukungmu.” Kata Oky.
***
Dido dan Oky adalah dua siswa kelas XII (kelas 3) semester terakhir yang telah selesai mengikuti ujian akhir di SMA Negeri 1 Peracikan. Sejak kelas 1 mereka telah bersahabat. Keduanya mengambil studi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial. Dido orangnya supel, mudah bergaul dengan orang lain, dan dia memiliki cita-cita menjadi seorang ahli sejarah. Hingga akhirnya dia mengikuti tes beasiswa ke Universitas Leiden di Belanda.
Lain halnya Oky. Bukan karena cita-cita sendiri ia memilih studi jurusan IPS, tapi karena ayahnya menginginkan dia menjadi seorang pengacara. Meskipun bertolak belakang dengan keinginannya untuk menjadi seorang musisi terkenal, tapi Oky tetap memilih studi jurusan IPS karena ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya.
Dinda adalah kekasih Dido. Sejak kelas dua mereka mulai menjalin hubungan. Dinda mengambil studi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Meskipun berbeda jurusan tapi keduanya memiliki hobi yang sama. Mendaki gunung. Mereka juga aktif di ekstrakurikuler Pecinta Alam. Hingga keduanya menjadi akrab dan mulai memiliki kedekatan. Dinda adalah gadis yang periang, feminim, cerdas dan berprestasi, tapi terkadang agak pendiam.
***
Setelah menunggu selama dua bulan setelah ujian. Akhirnya pengumuman kelulusan telah diterbitkan oleh sekolah. Dido, Oky, dan Dinda ketiganya lulus dengan nilai yang memuaskan. Mereka merayakannya dengan melakukan liburan ke Pulau Bali selama dua hari. Liburan itu terasa sangat singkat karena Dido harus segera kembali untuk mengurus segala keperluannya ke Belanda.
***
Cawan sudah dekat di bibir, tinggal mereguk isinya saja. Waktu keberangkatan Dido ke Belanda sudah semakin dekat. Surat-surat sudah diurus. Tinggal menunggu waktu keberangkatan ke negeri kincir angin itu. Namun, satu hal yang masih mengganggu pikiran Dido. Dinda.
Sejak diberitahu tentang keberangkatan Dido ke Belanda semakin dekat, sikap Dinda banyak berubah. Awalnya Dinda sempat tidak percaya dengan kabar tersebut. Bahkan dia dan Dido sempat berdebat tentang hal itu. Namun, setelah rukun lagi dia malah semakin lengket kepada Dido, tidak seperti biasanya. Dinda belum bisa merelakan kepergian Dido. Begitu juga Dido. Dia juga berat untuk meninggalkan Dinda. Namun, Dido harus berani mengambil keputusan.
***
Waktu yang ditunggu telah tiba. Keberangkatan Dido ke negeri kincir angin itu sudah tidak dapat ditunda lagi. Diantarkan ibu, dan dua adiknya. Serta Dinda dan Oky. Keberangkatan Dido diiringi pelukan dan tetesan air mata perpisahan. Ayah Dido tidak ikut mengantar Dido ke bandara. Karena subuh sebelum hari keberangkatan itu ayahnya jatuh sakit. Penyakit lambungnya kambuh, hingga harus dirawat di rumah sakit. Namun ayahnya telah mengizinkan Dido untuk pergi, bahkan memotivasinya agar giat belajar dan berhati-hati hidup di negeri orang. Ibunya juga berpesan agar sering-sering memberi kabar ke rumah. Begitu juga Oky berpesan agar menyempatkan waktu untuk mengirim e-mail. Namun, Dinda tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya memberikan sebuah kotak kecil yang dibalut kertas bermotif bunga daisy sembari mencium pipi kiri Dido.
***
Blazer hitam yang dikenakan Dido semakin lama semakin tak terlihat setelah melewati tempat pemeriksaan penumpang. Dido pergi.
***
Berat memang jika pertama kali pergi jauh. Itu yang dirasakan Dido saat transit di Changi Internasional Airport, Singapura. Penasaran dengan kotak yang diberikan Dinda saat di bandara kemudian Dido mengeluarkan kotak bermotif bunga dari saku blazernya. Setelah menyobek pembungkusnya. Tiba-tiba HP-nya bergetar. Ada sms dari ibunya. Dido secepat mungkin membukanya menggunakan tangan kanan, sementara tangan kirinya masih memegang kotak bermotif daisy yang terbuka separuh. Dan nampak isi kotak kertas itu adalah sebuah kotak berbalut sutra berwarna biru gelap dan dari dalamnya terlihat rantai lembut berwarna perak menjuntai dari tempatnya. Kalung.
***
Dido tersentak membaca SMS dari ibunya.
Do, sakit ayah semakin parah, dokter bilang kesempatan hidup ayah sangat kecil. Diperkirakan hanya tinggal dua jam lagi ayah mampu bertahan. Sekarang ibu sedang di rumah sakit. Menunggui ayah.
Dido menjadi lemas seketika setelah membaca SMS dari ibunya. Air matanya mengalir tak tertahankan. Hatinya tersayat. Batinnya tertekan.
Dan dia menoleh ke tangan kirinya melihat kalung perak dengan liontin separuh hati seperti yang masih ia pakai yang dulu pernah diberikannya untuk Dinda sebagai tanda cintanya. Dan secarik kertas.
Dido, maafin aku. Cintaku ga bisa bertahan tanpa ada kamu di sini. Kini separuh hatimu aku kembalikan dan pergilah tanpa beban. Lupakan aku.
Dinda.
Remuk hati Dido membaca pesan di secarik kertas itu. Perihnya tak tertahankan, tak ubahnya luka yang direndam dengan air garam. Luka karena akan ditinggalkan. Luka karena dilupakan.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara operator penerbangan memanggil penumpang untuk menaiki pesawat. Kaki Dido berat untuk melangkah. Lemas. Lunglai.
Kemana aku harus pergi? Dido bergumam.
Cita-cita, cinta, atau keluarga?
Ruang tunggu, penantian, orang-orang yang berlalu lalang memaksa Dido untuk terus diam. Mengerang. Berdiam di antara dua pahit. Kemana harus memohon ajar saat berada di simpang gusar? Deru mesin pesawat semakin membuatnya gentar. Tenggorokannya kering. Pandangannya nanar.

Batu, 24 Maret 2012.

3 comments: