Wednesday 16 May 2012

BAHAGIA DALAM SAMĀDHI

Oleh: Nanang Sutrisno

Merupakan hal yang wajar apabila setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Baik bahagia dalam kehidupan ini ataupun bahagia dalam kehidupan mendatang. Namun, bagi sebagian orang kebahagiaan itu hanya dinilai dari kekayaan materi yang dimiliki, padahal kebahagiaan materi itupun juga masih dicengkeram oleh tiga corak umum yaitu, anicca, dukkha, dan anatta atau dengan kata lain kebahagiaan itu bukanlah kebahagiaan sejati.
Dalam Aṅguttara Nikāya Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan mental, namun dalam hal ini kebahagiaan mental adalah yang lebih tinggi diantara keduanya (AN, II). Dari petikan Aṅguttara Nikāya tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan yang berkenaan dengan jasmani bukanlah kebahagiaan yang dipuji oleh Sang Buddha, namun kebahagiaan mental adalah kebahagiaan yang patut kita usahakan karena kebahagiaan itu adalah kebahagiaan yang terpuji. Lalu apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan mental? Jawabannya adalah kebahagiaan yang diperoleh dari hasil pelaksanaan samādhi atau pelatihan konsentrasi yang benar seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.


Ada dua macam jenis samādhi yang disebutkan oleh Sang Buddha di dalam Aṅguttara Nikāya, yaitu ketenangan dan pandangan terang. Seperti terdapat pada kutipan syair berikut:
“Ada dua hal, O para bhikkhu, yang merupakan bagian dari pengetahuan tertinggi (vijjābhāgiyā). Apakah dua hal itu? Ketenangan (samatha bhāvana) dan Pandangan Terang (vipassanā bhāvana).(Wena Cintiawati&Lany Anggawati:2003)”

Namun, dalam kesempatan ini hanya akan dibahas mengenai meditasi pandangan terang atau vipassanā bhāvana.

Tentu istilah vipassanā bhāvana ini tidak asing lagi bagi umat Buddha, karena telah banyak tempat-tempat meditasi yang mengajarkan meditasi ini. Istilah vipassanā bhāvana sering diartikan sebagai meditasi pandangan terang, yaitu meditasi yang mengamati segala sesuatu dengan kacamata kebenaran.

Dalam latihan vipassanā bhāvana ini kita diajarkan untuk bisa “melek” dalam menjalani kehidupan, artinya bahwa kita membiasakan diri untuk tidak melihat segala sesuatu hanya dari luarnya saja. Sebagai contoh misalnya ketika kita melihat sebuah mobil keluaran terbaru dengan merek “A”. Ketika kita melihat iklan yang menayangkan mobil baru tersebut maka kita akan menilai bahwa mobil itu bagus, mereknya terkenal, betapa bahagianya kalau saya bisa membeli dan memilikinya. Tetapi sebaliknya apabila kita melihatnya dari sisi lain kita akan memahami bahwa mobil itu keluaran merek “A”, menggunakan mesin keluaran terbaru yang memiliki kemampuan tinggi serta irit bahan bakar, interiornya di lengkapi dengan  sebuah monitor dan DVD Player, serta hal-hal lain yang kita amati dengan seksama sebagai pertimbangan apabila kita ingin membeli mobil tersebut.
Begitu pula dalam latihan vipassanā bhāvana ini, pada saat mengamati batin dan jasmani kita diajarkan untuk tidak hanya melihat secara sekilas melainkan mengamatinya dengan seksama sehingga kita dapat mengerti sifat sesungguhnya dari batin dan jasmani.

Seperti yang terdapat di dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, Sang Buddha menjelaskan objek-objek dari vipassanā bhāvana yang terbagi dalam empat kelompok besar, yaitu: perhatian terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan objek-objek pikiran (Walshe: 2009). Namun, dalam pelaksanaannya biasanya seorang guru meditasi vipassanā akan menganjurkan siswanya untuk menggunakan objek jasmani terlebih dahulu karena objek ini yang dirasa paling mudah untuk diamati sebagai dasar dari pengamatan terhadap objek-objek yang lain.

Biasanya pada hari pertama dan kedua peserta latihan vipassanā sangat antusias dan bersemangat untuk melakukan latihan, bahkan ada yang sampai berlatih tanpa beristirahat semalaman. Kemudian, pada hari ketiga akan mulai muncul rasa bosan dan jenuh untuk melakukan latihan, karena badan mulai terasa capek dan lelah serta sering muncul keinginan untuk mengakhiri latihan lebih cepat. Hal itu wajar terjadi apalagi bagi seorang pemula yang belum akrab dengan dunia meditasi. Namun, tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama seperti itu karena masing-masing peserta tentunya memiliki semangat dan daya tahan fisik yang berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya adalah pada saat hari-hari  pertama melaksanakan latihan vipassanā ini akan terasa berat, lebih-lebih bagi mereka yang masih baru dalam hal bermeditasi. Namun, setelah kita melewati masa-masa yang cukup melelahkan tersebut maka kita akan menemukan masa-masa dimana kita dapat memahami dengan sebenar-benarnya hakikat dari kehidupan ini berdasarkan ajaran Sang Buddha.

Berikut ini saya akan memberikan sebuah analogi yang cukup mewakili dari perjalanan pada saat kita melakukan latihan vipassanā bhāvana. Dalam melakukan latihan ini saya ibaratkan kita seperti mendaki sebuah gunung yang hanya memiliki satu jalan setapak untuk dapat mencapai puncaknya. Pada saat kita mulai berjalan tentu kita akan mendapati medan yang cukup melelahkan untuk kita lalui, hal ini dikarenakan kita belum mengenal betul kondisi dari medan tersebut. Setelah merasa medan itu terlalu berat maka kita akan merasa sangat lelah untuk melanjutkan perjalanan dan kita akan berpikir untuk kembali saja. Namun, setelah setahap demi setahap jalan setapak tersebut kita lewati maka kita akan terbiasa dengan medan tersebut dan kita pun akan menjadi bersemangat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian di puncak dari gunung tersebut kita menemukan sumber mata air yang jernih dan terlihat sangat segar. Ada tiga cara kita menikmati sumber mata air tersebut, yaitu: melihat, membasuh muka, atau meminumnya. Apabila kita hanya melihatnya maka kita hanya akan dapat menikmati air tersebut dari sisi visualnya saja. Apabila kita hanya membasuh muka maka kita hanya akan menikmati kesegaran air tersebut sebatas yang dapat dirasakan oleh kulit bagian luar tubuh kita tanpa dapat mengurangi rasa haus yang kita rasakan. Namun, apabila kita mulai meminumnya sedikit demi sedikit maka rasa haus yang kita miliki akan segera berkurang dan kita pun akan terbebas dari rasa haus dan perjalanan panjang yang kita lalui telah terjawab.

Arti dari analogi tersebut adalah pada saat berlatih adalah hal wajar apabila kita yang masih pemula mengalami hambatan-hambatan dalam latihan hal itu dikarenakan kita belum terbiasa dengan kondisi kita pada saat itu. Tetapi apabila kita tetap mempertahankan semangat dalam berlatih maka semua hambatan-hambatan itu tidak akan menjadi penghalang yang berarti hingga pada saatnya nanti kita akan menemukan sumber mata air yang menyegarkan, yaitu sumber mata air dhamma yang menyegarkan yang apabila kita jalankan akan membawa kita pada pembebasan. Pembebasan ini berarti kita terbebas dari keinginan-keinginan (tanhā) membelenggu kita, yaitu mencapai Nibbāna.

Maka dari itu janganlah merasa bosan untuk berlatih samādhi dimanapun dan kapanpun. Jangan beralasan tidak punya waktu untuk berlatih, karena selama kita bernafas maka selama itu pula kita dapat berlatih samādhi. Dengan demikian kita akan dapat menemukan kebahagiaan dalam berlatih samādhi, itulah yang saya sebut sebagai ‘bahagia dalam samādhi’. Semoga bermanfaat, sabbe sattā bhāvantu sukhitattā.

Literatur:
-Walshe, Maurice. 2009. Dīgha Nikāya khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha. (diterjemahkan dari judul asli The Long Discourses of the Buddha oleh Team Penerjemah Giri Mangala Publication dan DhammaCitta Press). Tanpa Kota: DhammaCitta.
-Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. 2003. Petikan Aṇguttara Nikāya (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati, Endang Widyawati S.Pd). Klaten: Vihara Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa).


1 comment: