Merupakan hal yang wajar apabila setiap orang
menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Baik bahagia dalam kehidupan ini
ataupun bahagia dalam kehidupan mendatang. Namun, bagi sebagian orang
kebahagiaan itu hanya dinilai dari kekayaan materi yang dimiliki, padahal
kebahagiaan materi itupun juga masih dicengkeram oleh tiga corak umum yaitu,
anicca, dukkha, dan anatta atau dengan kata lain kebahagiaan itu bukanlah
kebahagiaan sejati.
Dalam Aṅguttara Nikāya Sang Buddha mengajarkan
kepada kita bahwa ada dua macam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan jasmani dan
kebahagiaan mental, namun dalam hal ini kebahagiaan mental adalah yang lebih
tinggi diantara keduanya (AN, II). Dari petikan Aṅguttara Nikāya tersebut dapat
diketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan yang berkenaan dengan jasmani bukanlah
kebahagiaan yang dipuji oleh Sang Buddha, namun kebahagiaan mental adalah
kebahagiaan yang patut kita usahakan karena kebahagiaan itu adalah kebahagiaan
yang terpuji. Lalu apakah yang dimaksud dengan kebahagiaan mental? Jawabannya
adalah kebahagiaan yang diperoleh dari hasil pelaksanaan samādhi atau pelatihan
konsentrasi yang benar seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Ada dua macam jenis samādhi yang disebutkan
oleh Sang Buddha di dalam Aṅguttara
Nikāya, yaitu ketenangan dan pandangan terang. Seperti terdapat pada kutipan
syair berikut:
“Ada
dua hal, O para bhikkhu, yang merupakan bagian dari pengetahuan tertinggi (vijjābhāgiyā). Apakah dua hal itu?
Ketenangan (samatha bhāvana) dan
Pandangan Terang (vipassanā bhāvana).(Wena Cintiawati&Lany Anggawati:2003)”
Namun, dalam kesempatan ini hanya
akan dibahas mengenai meditasi pandangan terang atau vipassanā bhāvana.
Tentu istilah vipassanā bhāvana ini tidak asing lagi bagi umat Buddha,
karena telah banyak tempat-tempat meditasi yang mengajarkan meditasi ini.
Istilah vipassanā bhāvana sering diartikan sebagai meditasi
pandangan terang, yaitu meditasi yang mengamati segala sesuatu dengan kacamata
kebenaran.
Dalam latihan vipassanā bhāvana ini kita diajarkan untuk bisa “melek” dalam
menjalani kehidupan, artinya bahwa kita membiasakan diri untuk tidak melihat
segala sesuatu hanya dari luarnya saja. Sebagai contoh misalnya ketika kita
melihat sebuah mobil keluaran terbaru dengan merek “A”. Ketika kita melihat
iklan yang menayangkan mobil baru tersebut maka kita akan menilai bahwa mobil
itu bagus, mereknya terkenal, betapa bahagianya kalau saya bisa membeli dan
memilikinya. Tetapi sebaliknya apabila kita melihatnya dari sisi lain kita akan
memahami bahwa mobil itu keluaran merek “A”, menggunakan mesin keluaran terbaru
yang memiliki kemampuan tinggi serta irit bahan bakar, interiornya di lengkapi
dengan sebuah monitor dan DVD Player, serta hal-hal lain yang kita
amati dengan seksama sebagai pertimbangan apabila kita ingin membeli mobil
tersebut.
Begitu pula dalam latihan vipassanā bhāvana ini, pada saat mengamati batin dan jasmani
kita diajarkan untuk tidak hanya melihat secara sekilas melainkan mengamatinya
dengan seksama sehingga kita dapat mengerti sifat sesungguhnya dari batin dan
jasmani.
Seperti yang terdapat di dalam Mahāsatipaṭṭhāna Sutta, Sang Buddha menjelaskan objek-objek
dari vipassanā bhāvana yang terbagi dalam empat kelompok besar,
yaitu: perhatian
terhadap jasmani, perasaan, pikiran, dan objek-objek pikiran (Walshe: 2009).
Namun, dalam pelaksanaannya biasanya seorang guru meditasi vipassanā akan
menganjurkan siswanya untuk menggunakan objek jasmani terlebih dahulu karena
objek ini yang dirasa paling mudah untuk diamati sebagai dasar dari pengamatan
terhadap objek-objek yang lain.
Biasanya pada hari pertama dan
kedua peserta latihan vipassanā sangat antusias dan bersemangat untuk melakukan
latihan, bahkan ada yang sampai berlatih tanpa beristirahat semalaman.
Kemudian, pada hari ketiga akan mulai muncul rasa bosan dan jenuh untuk
melakukan latihan, karena badan mulai terasa capek dan lelah serta sering
muncul keinginan untuk mengakhiri latihan lebih cepat. Hal itu wajar terjadi
apalagi bagi seorang pemula yang belum akrab dengan dunia meditasi. Namun,
tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama seperti itu karena
masing-masing peserta tentunya memiliki semangat dan daya tahan fisik yang
berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya adalah pada saat hari-hari pertama melaksanakan latihan vipassanā ini
akan terasa berat, lebih-lebih bagi mereka yang masih baru dalam hal
bermeditasi. Namun, setelah kita melewati masa-masa yang cukup melelahkan
tersebut maka kita akan menemukan masa-masa dimana kita dapat memahami dengan
sebenar-benarnya hakikat dari kehidupan ini berdasarkan ajaran Sang Buddha.
Berikut ini saya akan memberikan
sebuah analogi yang cukup mewakili dari perjalanan pada saat kita melakukan
latihan vipassanā bhāvana. Dalam melakukan latihan ini saya ibaratkan kita
seperti mendaki sebuah gunung yang hanya memiliki satu jalan setapak untuk
dapat mencapai puncaknya. Pada saat kita mulai berjalan tentu kita akan
mendapati medan yang cukup melelahkan untuk kita lalui, hal ini dikarenakan
kita belum mengenal betul kondisi dari medan tersebut. Setelah merasa medan itu
terlalu berat maka kita akan merasa sangat lelah untuk melanjutkan perjalanan
dan kita akan berpikir untuk kembali saja. Namun, setelah setahap demi setahap
jalan setapak tersebut kita lewati maka kita akan terbiasa dengan medan
tersebut dan kita pun akan menjadi bersemangat lagi untuk melanjutkan
perjalanan. Kemudian di puncak dari gunung tersebut kita menemukan sumber mata
air yang jernih dan terlihat sangat segar. Ada tiga cara kita menikmati sumber
mata air tersebut, yaitu: melihat, membasuh muka, atau meminumnya. Apabila kita
hanya melihatnya maka kita hanya akan dapat menikmati air tersebut dari sisi
visualnya saja. Apabila kita hanya membasuh muka maka kita hanya akan menikmati
kesegaran air tersebut sebatas yang dapat dirasakan oleh kulit bagian luar tubuh
kita tanpa dapat mengurangi rasa haus yang kita rasakan. Namun, apabila kita
mulai meminumnya sedikit demi sedikit maka rasa haus yang kita miliki akan
segera berkurang dan kita pun akan terbebas dari rasa haus dan perjalanan
panjang yang kita lalui telah terjawab.
Arti dari analogi tersebut adalah
pada saat berlatih adalah hal wajar apabila kita yang masih pemula mengalami
hambatan-hambatan dalam latihan hal itu dikarenakan kita belum terbiasa dengan
kondisi kita pada saat itu. Tetapi apabila kita tetap mempertahankan semangat
dalam berlatih maka semua hambatan-hambatan itu tidak akan menjadi penghalang
yang berarti hingga pada saatnya nanti kita akan menemukan sumber mata air yang
menyegarkan, yaitu sumber mata air dhamma yang menyegarkan yang apabila kita
jalankan akan membawa kita pada pembebasan. Pembebasan ini berarti kita
terbebas dari keinginan-keinginan (tanhā)
membelenggu kita, yaitu mencapai Nibbāna.
Maka dari itu janganlah merasa
bosan untuk berlatih samādhi dimanapun dan kapanpun. Jangan beralasan tidak
punya waktu untuk berlatih, karena selama kita bernafas maka selama itu pula
kita dapat berlatih samādhi. Dengan demikian kita akan dapat menemukan
kebahagiaan dalam berlatih samādhi, itulah yang saya sebut sebagai ‘bahagia
dalam samādhi’. Semoga bermanfaat, sabbe
sattā bhāvantu sukhitattā.
Literatur:
-Walshe,
Maurice. 2009. Dīgha Nikāya khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha. (diterjemahkan
dari judul asli The Long Discourses of the Buddha oleh Team Penerjemah Giri
Mangala Publication dan DhammaCitta Press). Tanpa Kota: DhammaCitta.
-Nyanaponika
Thera dan Bhikkhu Bodhi. 2003. Petikan Aṇguttara Nikāya (diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia oleh Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati, Endang
Widyawati S.Pd). Klaten: Vihara Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa).
Sadhu..
ReplyDelete