Oleh:
Nanang Sutrisno
Rakay
Sutamayapanna
1. Agama
Buddha di Korea
Negeri
Korea mulai mengenal agama Buddha pada awal abad ke-4 Masehi. Pada saat itu,
Korea terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Koguryu (di Utara), Pakche (di Barat
Daya), dan Silla (Tenggara). Sejarah agama Buddha di ketiga wilayah tersebut
tidak sama.
Agama
Buddha pertama kali masuk ke Koguryo oleh seorang bhiksu bangsa Cina pada tahun
372. Setelah 12 tahun, agama Buddha baru masuk ke daerah Pakche dan dikenalkan
oleh Bhiksu Marananda dari Asia Tengah. Agama Buddha berkembang di Silla
sekitar 30 tahun setelah berkembang di Koguryo.
Peran
Korea terhadap sejarah perkembangan agama Buddha adalah sebagai jembatan
penyeberangan agama Buddha dari Cina ke Jepang.
Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa
pemerintahan dinasti Wang (abad XI). Sebelum itu, agama Buddha terpisah-pisah
dan terpengaruh oleh dinasti Silla dan banyak para bhiksu yang pergi ke Cina
untuk belajar agama Buddha. Beberapa di antara mereka adalah Yuan Ts’o
(613-683) dari aliran Fa Sian; Yuan Hiao
(617-670) dan Yi Siang (625-702) dari aliran Houa Yen. Setelah abad XI, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristokrat dari dinasti Silla, kemudian diterima oleh masyarakat umum, berkat usaha dari bhiksu-bhiksu Yi Tien, P’u Chao dan lain-lain.
(617-670) dan Yi Siang (625-702) dari aliran Houa Yen. Setelah abad XI, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristokrat dari dinasti Silla, kemudian diterima oleh masyarakat umum, berkat usaha dari bhiksu-bhiksu Yi Tien, P’u Chao dan lain-lain.
Bhiksu
Yi Tien terkenal dengan editing katalog kitab Tripitaka Cina (Yi T’ien Lu),
setelah belajar agama Buddha di Cina dan menyebarkan pandangan aliran Houa yen
dan Tien Tai di Korea. Beliau juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam
bahasa Korea. Sedangkan bhiksu P’u Chao mengenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran
Zen ini dalam sejarah Korea mencatat peranan yang penting.
Ketika
kekuasaan dinasti Wang ataas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti Yuan
dari Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme Tibet.
Setelah diunasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Chosen, Korea, maka
dinasti ini menerima ajaran Kong Hu Chu dan membenankan agama Buddha. Meski
terdapat pergantian penguasa di semenanjung Korea, agama Buddha tetap bertahan
karena telah merakyat.
Agama
Buddha pada zaman modern di Korea, sesungguhnya adalah agama Buddha Zen dengan
tetap percaya Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.
2. Agama
Buddha di Jepang
Di
Jepang, perkenalan agama Buddha menjangkau bangsa Jepang secara menyeluruh.
Agama Buddha dikenalkan melalui Kudara di Pakche, salah satu kerajaan di
semenanjung Korea pada tahun 522 dan oleh penguasa politik Jepang pada waktu
itu dimaksudkan sebagai perlindungan bagi negara. Agama baru ini diterima oleh
dinasti Soga yang berkuasa. Ada tiga periode sejarah agama Buddha di Jepang,
yaitu:
(a)
Periode kedatangan
(abad VI-VII), mencakup periode Asuka dan Nara;
(b)
Periode
nasionalisasi (abad IX-XIV), mencakup periode Heian dan Kamakura;
(c)
Periode lanjutan
(abad XV-XX), mencakup periode Muromachi, Momoyama, dan Edo serta zaman modern.
(a) Periode
Kedatangan
Periode
ini adalah penyesuaian terhadap kepercayaan asli bangsa Jepang, yakni agama
Shinto. Para bhiksu pada harus dapat melaksanakan upacara keagamaan bersamaan
dengan upacara pemujaan nenek moyang. Kemudian, secara bertahap agama Buddha
dapat mempertahankan diri dan berkembang di antara rakyat banyak tanpa
menyisihkan agama Shinto.
Kemiripan
perkembangan agama Buddha di Cina dan Jepang adalah diterima oleh kaum
aristokrat. Golongan aristokrat di Jepang adalah kaum intelektual, maka dari
itu, begitu mereka menerima agama Buddha, maka penyebarannya berlangsung dengan
cepat.
Beberapa
penguasa Jepang pada zaman kuno, menerima agama Buddha sebagai pedoman
kehidupannya. Pangeran Shotoku (574-621), di bawah pemerintahan Ratu Suiko,
banyak berperan dalam agama Buddha di Jepang, misalnya dengan mendirikan Vihara
Horyuji dan menulis banyak komentar mengenai ketiga kitab suci agama Buddha.
Pada
periode ini, tercatat enam aliran Buddha yang diperkenalkan dan tumbuh di
Jepang, yaitu:
1)
Kusha (aliran
Abhidharmakosa); 4)
Kegon (aliran Avatamsaka);
2)
Sanron (aliran
Madyamika); 5)
Hosso (aliran Dharmalaksana);
3)
Jojitsu (aliran
Satyasiddhi-sastra); 6)
Ratsu (aliran Vinaya).
(b)
Periode Nasionalisme
Perode ini diawali dengan
kelahiran dua aliran Agama Buddha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho
(797 – 822) dan aliran Shingon oleh Kukai (774 -835). Tujuan dari para pendiri
aliran tersebut adalah agar Agama Buddha dapat diterima oleh rakyat Jepang.
Selama pemerintahan Nara (710 – 884) sesungguhnya
Agama Buddha telah menjadi agama negara. Kaisar Shomu secara aktif telah
mepropagandakan agama ini dan membuatkan patung Buddha yang besar di Nara dan
menjadikannya pusat kebudayaan nasional. Di tiap provinsi dibangun
pagoda-pagoda dan sistem pembabaran Dharma yang efektif sesuai dengan keadaan
setempat.
Sekte Kegon (Huan Yen) versi Jepang memberikan
ideologi Buddhis baru bagi negara. Sekte Kagon ( sekte Hwaom, Korea) adalah
sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam
ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang terwujud di dalam tubuh Sang
Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsaka Sutra.
Pendidikan dan pemikiran Ritsu terutama lebih menitikberatkan pada disiplin (vinaya) serta
semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal
yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotus Sutra dan penekanannya pada
peranan umat seperti termaktub dalam vimalakirti Sutra. Dengan adanya cara
penyelamatan yang ideal ini menjadi jelas bagi raja bahwa rohaniawan terlalul
ikut campur dan aktif di dalam politik.
Selama pemerintahan anak perempuan (putri) Kaisar
Shoma bhiksu Donkyu yang bertindak selaku pejabat pemerintahdari putri kaisar
tersebut telah mencoba untuk menjadi kaisar. Hanya karena adanya perlawanan
para arisokrat-lah yang menyelamatkan Jepang untuk tidak menjadi negara
teokrasi beragama Buddha aliran Tibet. Sebagian dari perlwanan ini karena
tekanan dari Sangha karena adanya situasi yang tidak menguntungkan ini,
akhirnya pengadilan memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kyoto di
tahun 794.
Pada tahun 804, bhiksu Saichi dikirim ke Cina dan
kembali ke Jepang kemudian untuk mengajarkan (membabarkan ) doktrin dari Tien
Tai (bahasa Jepangnya Tendai).
Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada
beberapa yang tidak bisa diselamatkan tetapi Tendai menekankan pembabatan dan
penyelamatan alam. Agama Buddha Jepang yang berkarakter Jepang terus
berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan dan pemikiran baru dari masa
Huan. Kompleks vihara Tendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal
dari Agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Aliran Shingon
adalah satu bentuk dari Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh Bhiksu
Kukai di awal abad ke 9. Agama buddha Shingon menentukan penyatuan dari
pemeluknya dengan Buddha (persatuan Kawula-Gusti) dalam berbagai macam
bentuknya.
Dalam perkembangan sekte-sekte Buddhis Tendai dan
Shingon bercampur baur dengan Agama Shinto yang nampak dalam penyatuan pemujaan
dewa Shinto dan dewa-dewa dalam Agama Buddha, maka terjadilah persekutuan
pemujaan.
Gerakan dalam Agama Buddha terjadi pada abad ke-10
dengan munculnya kepercayaan pada Buddha Amitabha. Gerakan lain kemudian banyak
muncul pada abad ke-13 yang banyak didorong oleh cita-cita umat awam untuk
mencapai kemurnian dan kesederhanaan baik ajaran maupun caranya.
Pada zaman Kamakura mulai timbul feodalisme di
Jepang. Aliran-aliran Agama Buddha yang tumbuh di antaranya adalah Zen yang
diperkenalkan oleh Eisai (1141-1215), dan Dogen (1200-1253) serta Nichiren yang
didirikan oleh Nichiren (1222-1282).
Perkembangan Nichiren
Pada abad ke-13, Agama Buddha di Jepang menghasilkan
seorang pembaharu yakni Bhiksu Nichiren (1222-1282). Ramalan Nichiren mengenai
bangsa Mongol yang akan menyerang Jepang menyebabkan sekte ini terkenal di
Jepang. Dalam aliran Nichiren terdapat dua kelompok yang besar, yaitu:
a) Nichiren Shu
b) Nichiren Shoshu
Nichiren Shoshu
berkeyakinan bahwa Nichiren adalah Bodhisatwa dan bukan Buddha zaman sekarang.
Hal inilah yang menyebabkan perbedaan yang tajam dan tidak adanya kesesuaian
paham dan langkah antara sekte Nichiren Shoshu dan sekte-sekte lainnya.
(c) Periode
Lanjutan
Dengan
berakhirnya periode Kamamura di Jepang, tidak terdapat perkembangan agama yang
berarti, selain meluasnya beberapa aliran.
Pada
zaman Edo (1603-1867) agama Buddha merupakan agama nasional di bawah
perlindungan Shogun Tokogawa. Di
bawah pemerintahannya, agama Buddha menjadi alat dari pemeritahan. Vihara
sering digunakan sebagai tempat pendataan dan pendaftaran penduduk dan
dijadikan salah satu cara untuk mencegah penyebaran agama Kristen yang oleh
pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman politik.
Pada
zaman Meiji (1868-1912), muncul usaha untuk menjadikan Shinto sebagai agama
negara, yaitu dengan memurnikan ajaran Shinto yang telah tercampur dengan agama
Buddha. Untuk itu, dibutuhkan jalan keluar, yaitu dengan cara menyita tanah
vihara dan membatasi gerak-gerik para bhiksu. Pada saat ini, agama Buddha
menghadapi saingan dari agama asli Shinto. Namun, dapt dinetralisir dengan
kebebasan memeluk agama yang diberikan undang-undang dasar Jepang.
Pada
periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agam Buddha menyerukan untuk
penyatuan dunia Timur ke dalam Tanah Suci Buddha di bawah pengawasan Jepang.
Setelah perang selesai, kelompok agama Buddha yang baru dan lama mulai
menyatakan bahwa agama Buddha sebagai agama negara yang penuh dengan perdamaian
dan persaudaraan.
Mendekati
masa perang berakhir, aktivitas umat Buddha terlihat lebihnyata dengan adanya
gerakan dari agama baru seperti Soka
Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai.
Referensi:
Tim
Penyusun, 2003. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha. Jakarta: CV
Dewi Kalyana Abadi
Blog yang menarik, mengingatkan saya akan Kuil Meiji di Tokyo ,didedikasikan buat roh ilahi (Kami) Kaisar Meiji dan Permaisuri Shohen.
ReplyDeleteSaya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka blog di http://stenote-berkata.blogspot.com/2021/06/tokyo-di-kuil-meiji.html