1.
Faktor
Penghambat (Vipassanupakilesa)
Dalam buku Samādhi I oleh Somdet Phra
Buddhagosacariya (Ñānavara Thera), disebutkan 10 macam pengahambat dalam vipassanā atau yang disebut sebagai vipassanupakilesa, adapun sebagai
berikut: Obhāsa atau sinar, Pīti atau kegiuran, Passadhi atau ketenangan batin, Sukha
atau kebahagiaan, Saddhā atau
keyakinan, Paggaha atau usaha, Upaṭṭhāna atau ingatan, Ñāna atau pengetahuan, Upekkha atau keseimbangan batin dan Nikanti atau kepuasan.
Sedangkan
menurut Venerable Sujiva sebagai berikut:
“The
ten imperfections of insight or ten “defilements” of insight, are actually
results of good experiences due to a pure mind, with the exception of the last,
which is a true defilement. Nevertheless, because of the attachment, a downfall
can happen. Therefore, the moral behind this is that whatever pleasant
experiences that arise, just note them mindfully.
There
are ten imperfections of insight or ten “defilements” of insight:
1.
Obhasa—illumination,
seeing light
2.
Ñana—knowledge
3.
Piti—pleasurable interest, joy
4.
Passaddhi—tranquillity of the mind
5.
Sukha—deep bliss
6.
Adhimokkha—resolution, strong faith
7.
Paggaha—exertion, energy that lasts for a long time
8.
Upatthana—strong mindfulness
9.
Upekkha—equanimity knowledge (not the actual supramundane
knowledge yet)
10.
Nikanti—contentment, gratification, attachment.” (Sujiva. 2000: 201-202).
Selain itu
masih banyak buku-buku yang membahas tentang vipassanupakilesa ini, tetapi pada dasarnya semua mengarah pada satu
pengertian. Seperti di dalam bukunya Pandit J. Kharudin juga demikian.
2. Faktor Keberhasilan
Dalam buku Meditasi
Vipassanā Metode Mahasi Sayadaw di katakan sebagai berikut:
“Sang Buddha
menyebutkan ada lima faktor yang diperlukan yogi untuk meraih keberhasilan.
Faktor-faktor ini adalah:
1.
Saddha
(keyakinan), yaitu keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha khususnya yang
berhubungan dengan metode vipassanā. Munculnya keyakinan bahwa metode yang diberikan oleh guru meditasi mampu
mengantarkan kita kepada pencerahan.
2.
Kesehatan,
seorang yogi harus memiliki kesehatan yang baik. Jika sehat kita mampu
melakukan meditasi secara optimal (siang dan malam). Dari pengalaman ada yogi
yang tak tidur tujuh hari tujuh malam. Jadi dengan tubuh yang sehat kita bisa
berlatih terus-menerus. Sebaliknya jika sakit-sakitan tak mampu membawa
seorang yogi meraih keberhasilan.
3.
Harus jujur
dan berterus terang. Kita tidak boleh memberikan laporan palsu pada guru pembimbing.
Dalam menceritakan proses vipassanā
kita harus jujur, terbuka, rendah hati dan langsung (tidak berbelit-belit)
kepada guru.
4.
Viriyā (semangat)
Sang Buddha
menggambarkan
semangat yang berhubungan dengan meditasi dengan dua kata. Yang pertama adalah parakamma. Parakama adalah daya upaya yang terus menerus ditingkatkan. Kata
kedua adalah Dhala Viriyā yaitu daya upaya yang teguh (usaha yang keras). Apabila digabungkan
kedua kata itu berarti kita harus memiliki daya upaya yang teguh yang
berkesinambungan. Ada kata lain yang di gunakan Sang Buddha yaitu Anikita Dhara. Nikita artinya meletakkan dan Dhara artinya beban atau tanggung jawab. Jadi arti dua kata terakhir
ini adalah
kita memiliki tanggung jawab pada latihan sampai mencapai pencerahan yaitu saat kita mampu meletakkan
semua beban. Diilustrasikan selama ini kita selalu memanggul beban (lima
khanda; aggregat) seumur hidup bahkan sepanjang siklus kehidupan. Hanya mereka
yang telah mencapai tingkat
kesucian arahata sajalah yang benar-benar telah meletakkan
beban itu dari pundaknya.
5.
Harus
memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena. Muncul pertanyaan,
“bagaimana mungkin seorang pemula bisa melihat muncul dan lenyapnya berbagai
fenomena jasmani dan batin”? Tidak, tak ada seorang pun meditator pemula yang bisa melihat fenomena ini
di awal latihan. Apakah ini berarti yogi yang bersangkutan tak bisa
memenuhi keberhasilan di atas? Yang ingin dikatakan Sang Buddha adalah; apabila
seorang yogi berjuang sungguh-sungguh ia akan mendapatkan pengetahuan yakni kemampuan melihat muncul lenyapnya fenomena
fisik dan mental. Dengan kata lain ia akan memiliki kemampuan menyadari muncul dan
lenyapnya fenomena. Itu yang dimaksud oleh Sang Buddha.”
Dari penjelasan singkat oleh Mahasi Sayadaw di atas dapat
disimpulkan bahwa ada lima faktor penunjang keberhasilan yaitu; Saddha (keyakinan), Kesehatan, Harus
jujur dan berterus terang (Sacca), Viriyā (semangat) dan harus
memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena (Udayabhaya Ñāna).
Tujuan
Vipassanā
Tujuan
dari pelaksanaan vipassanā seperti
yang diungkapkan oleh U Janakabhivamsa.
1992: 8, adalah untuk mencapai penghentian penderitaan melalui pengertian yang
benar terhadap sifat alamiah proses batin dan jasmani. Pengertian yang dimaksud
adalah pengertian mengenai karakteristik yang sesungguhnya dari kehidupan yang
masih dicengkeram oleh Tilakkhaṇa,
yaitu: aniccā, dukkhā, dan anattā.
Selain itu, U
Sīlānanda juga memberikan penjelasan mengenai tujuan vipassanā. Namun uraian tersebut lebih mengacu pada penjabaran isi
dari Satipaṭṭhāna Sutta, yang secara ringkas bahwa tujuan dari vipassanā adalah untuk pemurnian
makhluk, pengatasan kesedihan dan ratapan, pelenyapan sakit dan dukacita, pencapaian
jalan mulia, serta perwujudan Nibbāna. (DN 22).
Pemurnian
Makhluk
Dalam buku
Satu-satunya Jalan, U
Sīlānanda memberikan penjelasan mengenai hal ini. Beliau menyatakan, “Untuk
pemurnian makhluk” berarti untuk pemurnian pikiran makhluk. Ini karena Buddha
lebih mementingkan pemurnian kesadaran daripada pemurnian tubuh jasmani—meskipun
bukan berarti bahwa kita tidak menjaga kebersihan badan—yang lebih penting bagi
kita adalah kebersihan pikiran. Jadi, pemurnian makhluk di sini berarti
pemurnian kesadaran makhluk. (U Sīlānanda. 2005: 18)
Sayadaw
U Janakabhivamsa. 1992: 24. Juga menjelaskan manfaat pertama dari vipassanā, yaitu “Manfaat pertama adalah
kemurnian. Jika seseorang melatih Vipassana, ia dapat memurnikan pikirannya
dari seluruh kotoran batin. Kata Bahasa Pali ‘kilesa’ mungkin akrab bagi anda.
Kata kilesa diterjemahkan sebagai kekotoran batin oleh siswa/pelajar Buddhist.”
Dari
kedua keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa vipassanā merupakan praktik yang harus diambil untuk pemurnian
makhluk. Sedangkan yang dimaksud dengan pemurnian makhluk adalah pemurnian pikiran
makhluk dari kekotoran batin, yaitu terbebasnya pikiran dari sifat serakah,
dengki, dan ketidaktahuan.
Pengatasan
Kesedihan dan Ratapan
Manfaat
selanjutnya seperti yang dijelaskan oleh U Sīlānanda adalah pengatasan
kesedihan dan ratapan.
“Kemudian Buddha berkata, "untuk pengatasan kesedihan dan ratapan". Jika kita
ingin mengatasi kesedihan dan ratapan atau tangisan, kita harus berlatih
perhatian murni. Perhatian murni adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi
kesedihan dan ratapan. Di sini kesedihan adalah sebuah keadaan batin. Ratapan
adalah tangisan karena kesedihan dan berbicara tak keruan. Untuk mengatasi
kesedihan dan ratapan kita juga harus mempraktikkan Landasan Perhatian Murni.”
(U Sīlānanda. 2005: 18-19).
Dari keterangan di
atas, maka dapat diketahui bahwa untuk mengatasi kesedihan dan ratapan dapat
dilakukan melalui praktik perhatian murni. Bahkan juga dijelaskan bahwa hanya
itulah satu-satunya jalan dan tidak ada jalan lain.
Pelenyapan
Sakit dan Dukacita
U
Sīlānanda menjelaskan bahwa praktik vipassanā
ini adalah untuk pelenyapan sakit dan dukacita. "Untuk pelenyapan sakit dan dukacita": sakit di sini berarti
sakit jasmani, sakit pada tubuh, dan dukacita berarti sakit batin, tertekan,
niat jahat, kebencian; semuanya itu tercakup dalam kata "dukacita". Untuk mengatasi
dan melenyapkan sakit dan dukacita, kita harus berlatih Landasan Perhatian
Murni.
(U Sīlānanda. 2005: 19).
Jelas
kiranya bahwa menurut U Sīlānanda “sakit” yang dimaksud adalah yang berkenaan
dengan jasmani, seperti kesemutan dan lelah. Sedangkan “dukacita” adalah sakit
yang berkenaan dengan batin. Jadi pengertian
kata tersebut bukanlah pengertian secara biasa saja, melainkan diartikan
secara khusus dalam pelajaran meditasi ini.
Pencapaian
Jalan Mulia
Kata
“jalan” sering ditemui di dalam buku-buku Buddhis ditulis dengan huruf “j”
besar atau terkadang juga ditulis dengan huruf “j” kecil. Namun, menurut U
Sīlānanda secara teknis istilah “Jalan” adalah nama untuk kombinasi atau
kelompok dari delapan ruas jalan, yaitu Pemahaman Benar, Pikiran Benar, dan
seterusnya, yang muncul pada saat pencerahan. Jenis kesadaran (yang muncul pada
saat pencerahan) yang disertai oleh faktor-faktor tersebut disebut ”Kesadaran
Jalan (magga-citta)”. (U Sīlānanda
2005: 20). Jadi menurut uraian tersebut istilah “Jalan” ini merupakan bagian
dari pelaksanaan praktik perhatian murni, bukan hanya sekedar jalan biasa.
Begitu
juga mengenai istilah pencerahan, U Sīlānanda juga memberikan uraian yang cukup
detail.
“Kata “Pencerahan” merupakan istilah teknis yang
lain yang artinya tidaklah mudah untuk dipahami. Orang-orang memakai istilah
ini dengan cukup bebas, tetapi mungkin hanya beberapa saja yang benar-benar
memahami artinya. Tanpa definisi, kata ini jadi kabur. Bisa saja ini berarti
lain bagi orang lain atau agama lain: pencerahan bagi seorang penganut Buddha
mungkin sangat berbeda dengan pencerahan bagi seorang umat Kristiani.” (U
Sīlānanda. 2009: 20-21).
Perwujudan
Nibbāna
Manfaat
yang terakhir ini dijelaskan cukup singkat oleh U Sīlānanda. “Ini sama halnya
dengan pencapaian Jalan Mulia, apabila Kesadaran Jalan muncul dalam pikirannya
dan kesadaran itu mengambil Nibbāna sebagai
objek, pada saat itulah dikatakan telah merealisasi Nibbāna. Jadi, pencapaian Jalan Mulia dan perwujudan Nibbāna adalah sama artinya. (U Sīlānanda. 2009: 21).
Referensi :
U Sīlānanda. Satu-satunya Jalan (alih bahasa: Yulianti). Tanpa kota: Yayasan
Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation. 2005.
Walshe, Maurice. Seri Tipitaka Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Dīgha Nikāya
(alih bahasa Team DhammaCitta Press dan Girimanggala Publication). Tanpa kota:
Dhamma Citta Press. 1986.
Sayadaw U Janakabhivamsa. Meditasi Vipassana. Jakarta: Lembaga
Satipatthana Indonesia.Tanpa tahun.
Kaharudin. Pandit J. Abhidhammatasaṅgaha. Tangerang: Vihara
Padumuttara. 2005.
Panjika. Kamus Umum Buddha Dharma. Jakarta Barat:
Tri Sattva Buddhist Centre. 2004.
Mahasi Sayadaw. Meditasi Vipassanā. Surabaya: Editor
Thitaketuko Thera. 2002.
Sujiva,
Venerable. Essentials of Insight Meditation Practice. Petaling Jaya, Selangor, Malaysia: Buddhist
Wisdom Centre. 2000.
No comments:
Post a Comment