Friday 9 November 2012

FAKTOR PENGHAMBAT (VIPASSANUPAKILESA), Faktor Keberhasilan Meditasi VIPASSANĀ dan Tujuan VIPASSANĀ




    1.      Faktor Penghambat (Vipassanupakilesa)
Dalam buku Samādhi I oleh Somdet Phra Buddhagosacariya (Ñānavara Thera), disebutkan 10 macam pengahambat dalam vipassanā atau yang disebut sebagai vipassanupakilesa, adapun sebagai berikut: Obhāsa atau sinar, Pīti atau kegiuran, Passadhi atau ketenangan batin, Sukha atau kebahagiaan, Saddhā atau keyakinan, Paggaha atau usaha, Upaṭṭhāna atau ingatan, Ñāna atau pengetahuan, Upekkha atau keseimbangan batin dan Nikanti atau kepuasan.
Sedangkan menurut Venerable Sujiva sebagai berikut:

“The ten imperfections of insight or ten “defilements” of insight, are actually results of good experiences due to a pure mind, with the exception of the last, which is a true defilement. Nevertheless, because of the attachment, a downfall can happen. Therefore, the moral behind this is that whatever pleasant experiences that arise, just note them mindfully.
There are ten imperfections of insight or ten “defilements” of insight:


1.       Obhasa—illumination, seeing light
2.       Ñana—knowledge
3.      Piti—pleasurable interest, joy
4.      Passaddhi—tranquillity of the mind
5.      Sukha—deep bliss
6.      Adhimokkha—resolution, strong faith
7.      Paggaha—exertion, energy that lasts for a long time
8.      Upatthana—strong mindfulness
9.      Upekkha—equanimity knowledge (not the actual supramundane
knowledge yet)
10.  Nikanti—contentment, gratification, attachment.” (Sujiva. 2000: 201-202).

Selain itu masih banyak buku-buku yang membahas tentang vipassanupakilesa ini, tetapi pada dasarnya semua mengarah pada satu pengertian. Seperti di dalam bukunya Pandit J. Kharudin juga demikian.
2.      Faktor Keberhasilan
Dalam buku Meditasi Vipassanā Metode Mahasi Sayadaw di katakan sebagai berikut:
“Sang Buddha menyebutkan ada lima faktor yang diperlukan yogi untuk meraih keberhasilan. Faktor-faktor ini adalah:
1.      Saddha (keyakinan), yaitu keyakinan kepada Buddha, Dhamma dan Saṅgha khususnya yang berhubungan dengan metode vipassanā. Munculnya keyakinan bahwa metode yang  diberikan oleh guru meditasi mampu mengantarkan kita kepada pencerahan.
2.      Kesehatan, seorang yogi harus memiliki kesehatan yang baik. Jika sehat kita mampu melakukan meditasi secara optimal (siang dan malam). Dari pengalaman ada yogi yang tak tidur tujuh hari tujuh malam. Jadi dengan tubuh yang sehat kita bisa berlatih terus-menerus. Sebaliknya jika sakit-sakitan tak mampu membawa seorang yogi meraih keberhasilan.
3.      Harus jujur dan berterus terang. Kita tidak boleh memberikan laporan palsu pada guru pembimbing. Dalam menceritakan proses vipassanā kita harus jujur, terbuka, rendah hati dan langsung (tidak berbelit-belit) kepada guru.
4.      Viriyā (semangat) Sang Buddha menggambarkan semangat yang berhubungan dengan meditasi dengan dua kata. Yang pertama adalah parakamma. Parakama adalah daya upaya yang terus menerus ditingkatkan. Kata kedua adalah Dhala Viriyā yaitu daya upaya yang teguh (usaha yang keras). Apabila digabungkan kedua kata itu berarti kita harus memiliki daya upaya yang teguh yang berkesinambungan. Ada kata lain yang di gunakan Sang Buddha yaitu Anikita Dhara. Nikita artinya meletakkan dan Dhara artinya beban atau tanggung jawab. Jadi arti dua kata terakhir ini adalah kita memiliki tanggung jawab pada latihan sampai mencapai pencerahan yaitu saat kita mampu meletakkan semua beban. Diilustrasikan selama ini kita selalu memanggul beban (lima khanda; aggregat) seumur hidup bahkan sepanjang siklus kehidupan. Hanya mereka yang telah mencapai tingkat kesucian arahata sajalah yang benar-benar telah meletakkan beban itu dari pundaknya.
5.      Harus memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena. Muncul pertanyaan, “bagaimana mungkin seorang pemula bisa melihat muncul dan lenyapnya berbagai fenomena jasmani dan batin”? Tidak, tak ada seorang pun meditator pemula yang bisa melihat fenomena ini di awal latihan. Apakah ini berarti yogi yang bersangkutan tak bisa memenuhi keberhasilan di atas? Yang ingin dikatakan Sang Buddha adalah; apabila seorang yogi berjuang sungguh-sungguh ia akan mendapatkan pengetahuan yakni kemampuan melihat muncul lenyapnya fenomena fisik dan mental. Dengan kata lain ia akan memiliki kemampuan menyadari muncul dan lenyapnya fenomena. Itu yang dimaksud oleh Sang Buddha.”
Dari penjelasan singkat oleh Mahasi Sayadaw di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima faktor penunjang keberhasilan yaitu; Saddha (keyakinan), Kesehatan, Harus jujur dan berterus terang (Sacca), Viriyā (semangat) dan harus memiliki pengetahuan akan muncul dan lenyapnya fenomena (Udayabhaya Ñāna).
Tujuan Vipassanā
Tujuan dari pelaksanaan vipassanā seperti yang diungkapkan oleh  U Janakabhivamsa. 1992: 8, adalah untuk mencapai penghentian penderitaan melalui pengertian yang benar terhadap sifat alamiah proses batin dan jasmani. Pengertian yang dimaksud adalah pengertian mengenai karakteristik yang sesungguhnya dari kehidupan yang masih dicengkeram oleh Tilakkhaṇa, yaitu: aniccā, dukkhā, dan anattā.
Selain itu, U Sīlānanda juga memberikan penjelasan mengenai tujuan vipassanā. Namun uraian tersebut lebih mengacu pada penjabaran isi dari Satipaṭṭhāna Sutta, yang secara ringkas bahwa tujuan dari vipassanā adalah untuk pemurnian makhluk, pengatasan kesedihan dan ratapan, pelenyapan sakit dan dukacita, pencapaian jalan mulia, serta perwujudan Nibbāna. (DN 22).
Pemurnian Makhluk
Dalam buku Satu-satunya Jalan, U Sīlānanda memberikan penjelasan mengenai hal ini. Beliau menyatakan, “Untuk pemurnian makhluk” berarti untuk pemurnian pikiran makhluk. Ini karena Buddha lebih mementingkan pemurnian kesadaran daripada pemurnian tubuh jasmani—meskipun bukan berarti bahwa kita tidak menjaga kebersihan badan—yang lebih penting bagi kita adalah kebersihan pikiran. Jadi, pemurnian makhluk di sini berarti pemurnian kesadaran makhluk. (U Sīlānanda. 2005: 18)
Sayadaw U Janakabhivamsa. 1992: 24. Juga menjelaskan manfaat pertama dari vipassanā, yaitu “Manfaat pertama adalah kemurnian. Jika seseorang melatih Vipassana, ia dapat memurnikan pikirannya dari seluruh kotoran batin. Kata Bahasa Pali ‘kilesa’ mungkin akrab bagi anda. Kata kilesa diterjemahkan sebagai kekotoran batin oleh siswa/pelajar Buddhist.”
Dari kedua keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa vipassanā merupakan praktik yang harus diambil untuk pemurnian makhluk. Sedangkan yang dimaksud dengan pemurnian makhluk adalah pemurnian pikiran makhluk dari kekotoran batin, yaitu terbebasnya pikiran dari sifat serakah, dengki, dan ketidaktahuan.
Pengatasan Kesedihan dan Ratapan
Manfaat selanjutnya seperti yang dijelaskan oleh U Sīlānanda adalah pengatasan kesedihan dan ratapan.
“Kemudian Buddha berkata,  "untuk pengatasan kesedihan dan ratapan". Jika kita ingin mengatasi kesedihan dan ratapan atau tangisan, kita harus berlatih perhatian murni. Perhatian murni adalah satu-satunya jalan untuk mengatasi kesedihan dan ratapan. Di sini kesedihan adalah sebuah keadaan batin. Ratapan adalah tangisan karena kesedihan dan berbicara tak keruan. Untuk mengatasi kesedihan dan ratapan kita juga harus mempraktikkan Landasan Perhatian Murni.” (U Sīlānanda. 2005: 18-19).

Dari keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa untuk mengatasi kesedihan dan ratapan dapat dilakukan melalui praktik perhatian murni. Bahkan juga dijelaskan bahwa hanya itulah satu-satunya jalan dan tidak ada jalan lain.
Pelenyapan Sakit dan Dukacita
U Sīlānanda menjelaskan bahwa praktik vipassanā ini adalah untuk pelenyapan sakit dan dukacita. "Untuk pelenyapan sakit dan dukacita": sakit di sini berarti sakit jasmani, sakit pada tubuh, dan dukacita berarti sakit batin, tertekan, niat jahat, kebencian; semuanya itu tercakup dalam  kata "dukacita". Untuk mengatasi dan melenyapkan sakit dan dukacita, kita harus berlatih Landasan Perhatian Murni. (U Sīlānanda. 2005: 19).
Jelas kiranya bahwa menurut U Sīlānanda “sakit” yang dimaksud adalah yang berkenaan dengan jasmani, seperti kesemutan dan lelah. Sedangkan “dukacita” adalah sakit yang berkenaan dengan batin. Jadi pengertian  kata tersebut bukanlah pengertian secara biasa saja, melainkan diartikan secara khusus dalam pelajaran meditasi ini.
Pencapaian Jalan Mulia
Kata “jalan” sering ditemui di dalam buku-buku Buddhis ditulis dengan huruf “j” besar atau terkadang juga ditulis dengan huruf “j” kecil. Namun, menurut U Sīlānanda secara teknis istilah “Jalan” adalah nama untuk kombinasi atau kelompok dari delapan ruas jalan, yaitu Pemahaman Benar, Pikiran Benar, dan seterusnya, yang muncul pada saat pencerahan. Jenis kesadaran (yang muncul pada saat pencerahan) yang disertai oleh faktor-faktor tersebut disebut ”Kesadaran Jalan (magga-citta)”. (U Sīlānanda 2005: 20). Jadi menurut uraian tersebut istilah “Jalan” ini merupakan bagian dari pelaksanaan praktik perhatian murni, bukan hanya sekedar jalan biasa.
Begitu juga mengenai istilah pencerahan, U Sīlānanda juga memberikan uraian yang cukup detail.
“Kata “Pencerahan” merupakan istilah teknis yang lain yang artinya tidaklah mudah untuk dipahami. Orang-orang memakai istilah ini dengan cukup bebas, tetapi mungkin hanya beberapa saja yang benar-benar memahami artinya. Tanpa definisi, kata ini jadi kabur. Bisa saja ini berarti lain bagi orang lain atau agama lain: pencerahan bagi seorang penganut Buddha mungkin sangat berbeda dengan pencerahan bagi seorang umat Kristiani.” (U Sīlānanda. 2009: 20-21).

Perwujudan Nibbāna
Manfaat yang terakhir ini dijelaskan cukup singkat oleh U Sīlānanda. “Ini sama halnya dengan pencapaian Jalan Mulia, apabila Kesadaran Jalan muncul dalam pikirannya dan kesadaran itu mengambil Nibbāna sebagai objek, pada saat itulah dikatakan telah merealisasi Nibbāna. Jadi, pencapaian Jalan Mulia dan perwujudan Nibbāna adalah sama artinya. (U Sīlānanda. 2009: 21).


Referensi :

U Sīlānanda. Satu-satunya Jalan (alih bahasa: Yulianti). Tanpa kota: Yayasan Penerbit Karaniya dan Ehipassiko Foundation. 2005.

Walshe, Maurice. Seri Tipitaka Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha Dīgha Nikāya (alih bahasa Team DhammaCitta Press dan Girimanggala Publication). Tanpa kota: Dhamma Citta Press. 1986.

Sayadaw U Janakabhivamsa. Meditasi Vipassana. Jakarta: Lembaga Satipatthana Indonesia.Tanpa tahun.

Kaharudin. Pandit J. Abhidhammatasaṅgaha. Tangerang: Vihara Padumuttara. 2005.
Panjika. Kamus Umum Buddha Dharma. Jakarta Barat: Tri Sattva Buddhist Centre. 2004.
Mahasi Sayadaw. Meditasi Vipassanā. Surabaya: Editor Thitaketuko Thera. 2002.
Sujiva, Venerable. Essentials of Insight Meditation Practice. Petaling Jaya, Selangor, Malaysia: Buddhist Wisdom Centre. 2000.

No comments:

Post a Comment