Wednesday 16 May 2012

MENGATASI KEMARAHAN MELALUI PENERAPAN PAṬHAMAĀGHĀTAPAṬIVINAYASUTTA

Oleh: Nanang Sutrisno

“Pañcime, bhikkhave, āghātapaṭivinayā yattha bhikkhuno uppanno āghāto sabbaso paṭivinetabbo. Katame pañca?”
(Paṭhamaāghātapaṭivinayasutta, AN V)
Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat seseorang tentu akan menemui permasalahan antar individu dengan individu yang lainnya. Permasalahan yang dialami dapat memberikan kemungkinan munculnya ketidakcocokan antar teman dan dapat mengarah pada munculnya kebencian yang apabila tidak disikapi dengan baik dapat menimbulkan konflik yang lebih besar. Beberapa orang mungkin dapat menunjukkan beberapa cara untuk mengatasinya. Namun, sudahkan anda tahu bagaimana cara mengatasi kebencian yang ditunjukkan oleh Buddha?


“Di tengah-tengah kesibukan saya mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan perkuliahan, saya menyempatkan menulis artikel ini, mengingat pentingnya pembahasan mengenai cara untuk mengatasi kemarahan yang disebabkan adanya kebencian di dalam batin. Karena dengan adanya kemarahan, kebencian, dendam yang mendalam dapat menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain dan bahkan lingkungan. Dampak paling besar yang kita rasakan sebagai akibat adanya kebencian adalah merebaknya kerusuhan, pertengkaran, pembunuhan, dan perang yang terjadi dimana-mana. Semoga tulisan ini bermanfaat.”
Jarang dapat ditemui suatu kebencian dapat berubah menjadi cinta, namun yang sering kita dapati adalah suatu perasaan cinta seringkali berubah menjadi benci. Kasus seperti ini tentu tidak lagi asing bagi anda yang sering menyaksikan sinetron ataupun kisah-kisah yang ditayangkan di televisi, terlebih lagi bagi para remaja. Kehidupan remaja seringkali bersinggungan dengan permasalahan suka dan tidak suka. Ketika seorang remaja memiliki perasaan suka ataupun tidak suka kepada sesuatu atau seseorang maka ia tidak memikirkan alasan yang mendorongnya menyukai atau tidak menyukai hal tersebut, melainkan ia akan mengikutinya begitu saja.
Merasakan amarah yang muncul dalam batin terkadang dapat membuat seseorang menjadi tertekan, stres, muka memerah, ekspresi wajah menjadi menakutkan, dan yang paling parah dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas jantung sehingga seseorang yang sering marah rawan terkena gangguan jantung dan stroke hingga meninggal dunia. Semakin sering seseorang marah maka peluang untuk menanggung resiko-resiko tersebut semakin besar.
Kemarahan yang muncul dapat saja ’menular’ (baca: dapat mengondisikan) kepada orang lain, sehingga orang yang menjadi obyek marah tersebut menjadi tertular rasa amarah. Ada sebuah cerita tentang seorang pimpinan perusahaan asuransi yang mudah marah dan amarahnya memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Suatu ketika seorang pimpinan perusahaan asuransi berangkat ke kantor di pagi hari. Di tengah perjalanannya dia menemui kemacetan yang cukup panjang. Karena memiliki pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantornya ia menjadi terganggu dengan macet yang sedang dia alami. Kemudian dia berkata kepada supirnya dengan nada marah, ”memang tidak ada jalan lain ya? Sudah tahu jalan ini sering macet, masih saja lewat sini!!”, kemudian supirnya menjawab “maaf pak, ini jalan satu-satunya untuk ke kantor, karena jalan yang lain masih ditutup karena ada perbaikan”. Mendengar jawaban supir tersebut akhirnya dia menjadi tambah jengkel dan memutuskan keluar dari mobil dan menuju ke kantor dengan jalan kaki.
Sesampainya di kantor ia bertemu dengan satpam di kantor tersebut. Dengan tersenyum ramah sambil membukakan pintu satpam tersebut berkata kepada bosnya ”selamat pagi bos, kok tumben jalan kaki? Memang mobilnya kemana bos?”. Mendengar sapaan sekaligus pertanyaan tersebut si pimpinan menjadi tambah marah dan mukanya memerah. Dia berhenti sejenak, melihat ke arah satpam itu dan dia menunjukkan ekspresi kekesalannya, namun karena di sana ada banyak orang dia malu untuk memarahi satpam itu dan dia memutuskan terus berlalu dan berencana untuk memanggil satpam itu ke ruangannya. Seiring berlalunya si bos, satpam itu kemudian berkata kepada dirinya sendiri “aku salah apa ya? Kok kayaknya bos marah banget sama aku?”. Tidak lama kemudian satpam itu dipanggil ke ruangan bosnya. Setelah beberapa waktu satpam itu keluar dari ruangan bosnya sambil ngomel-ngomel sendiri karena dia merasa tidak bersalah tetapi malah dimarahi oleh si bos. Ketika dia keluar dia menabrak cleaning service alias office boy di kantor tersebut. Satpam ini tambah kesal dan memaki si office boy dengan berkata “kalau jalan lihat-lihat donk!!”, setelah meminta maaf kepada satpam itu kemudian si OB tersebut berlalu sambil berkata kepada dirinya sendiri “aku kan ga sengaja, tapi kok marahnya sampai kayak gitu” dia menjadi kesal dengan satpam tersebut.
Tidak lama kemudian jam istirahat siang di hari itu tiba, dan office boy  itu pulang ke rumah karena hari itu hari Sabtu dia hanya bekerja setengah hari. Sesampainya di rumah dia masih kesal dengan kejadian di kantor tadi pagi. Istrinya menyambut dengan tersenyum ramah sambil membukakan pintu. Tapi suaminya dengan kesal berkata kepada istrinya “kenapa senyum-senyum? Bahagia ya ada orang lagi kesal?!! Masih bau dapur juga, sudah sana cepat selesaikan masaknya, aku sudah lapar!” kemudian suaminya berlalu. Istrinya menjadi jengkel dan berkata “kenapa sih bapak ini, saya kan tersenyum untuk menyambut bapak, saya juga sudah membukakan pintu tapi malah dimarahin” kemudian dia kembali ke dapur untuk menyelesaikan memasak makanan untuk makan siang. Berselang beberapa waktu anaknya yang masih SD kelas 2 baru pulang dari sekolah dan bertemu dengan ayahnya yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Kemudian si anak berkata “ayah tadi aku dikasih PR sama bu guru tapi aku ga bisa mengerjakan, ayah ajarin aku ya”. Kemudian ayahnya berkata kepada anaknya “kamu itu sama saja seperti ibumu, sudah tau ayah lagi kesal kamu malah gangguin ayah. Ayah lagi capek, sana minta ajarin sama ibumu” kata ayahnya dengan nada marah. Karena jengkel si anak kemudian berlari ke halaman belakang rumah. Sambil menggumam dia berjalan ke halaman belakang sambil menendang apapun yang ada di depannya. Bertepatan ketika anak itu di halaman belakang rumah, ia melihat kucing tetangga melompat memasuki halaman belakang rumahnya kemudian anak ini dengan jengkel dia berkata “berani-beraninya ya masuk ke rumahku” kemudian anak itu menendang si kucing dengan sangat keras.
Dari cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa jika rasa marah dalam diri kita tidak segera diatasi maka bisa berbahaya bagi diri sendiri dan lingkungan. Hanya berawal dari seorang pimpinan yang merasa jengkel karena macet yang panjang kemudian menular ke satpam, OB, istri, dan anak office boy tersebut. Namun tidak hanya itu, korban terakhir adalah kucing tetangga yang tidak tahu apa-apa tetapi mendapatkan tendangan keras dari si anak. Contoh cerita tersebut hanya sebagai gambaran bahwa rasa marah yang kita timbul dalam diri kita tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga dapat merugikan orang lain bahkan makhluk yang tidak bersalahpun bisa menjadi korban.
Dalam Tipitaka pada kelompok Aṇguttara Nikāya, pañcakanipata, guru agung Buddha menjelaskan tentang lima cara untuk mengatasi rasa marah, dendam, kebencian yang telah timbul dalam diri seseorang seperti yang tercantum dalam paṭhamaāghātapaṭivinayasutta, AN V. Lima hal tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Mettā
Memancarkan cinta kasih adalah cara pertama untuk mengatasi kebencian yang ditunjukkan oleh Guru Agung Buddha. Ketika muncul kebencian di dalam batin hendaknya kita segera menyadari hal tersebut dan segera berusaha memancarkan cinta kasih kepada orang yang kita benci. Mengaharapkan orang lain berbahagia, selalu memperoleh keberuntungan, terhindar dari segala macam bahaya adalah salah satu perenungan untuk mengembangkan cinta kasih di dalam batin.
 Dengan memancarkan cinta kasih banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh, tidak hanya sekedar menghilangkan kebencian namun juga dapat menambah perbuatan baik. Terdapat sebelas manfaat jika kita mengembangkan cinta kasih, yaitu dapat tidur dengan tenang; tidak bermimpi buruk; dicintai oleh manusia; dicintai oleh makhluk yang bukan manusia (binatang, makhluk-makhluk halus, dll); dilindungi oleh para dewa; api, racun dan senajata tidak bisa melukainya; pikirannya mudah terkosentrasi; kulit wajahnya jernih; dapat meninggal dengan tenang; dan jika tidak menembus yang lebih tinggi, dia akan terlahir di alam Brahma. (AN XI, 16).
Kebahagiaan dalam memancarkan cinta kasih tidak hanya dapat dirasakan di kehidupan sekarang saja, namun juga memberikan manfaat di kehidupan mendatang. Seperti kisah Ratu Samawati yang terkenal dengan dengan kualitas cinta kasihnya yang sangat besar. Sekalipun ia beberapa kali terancam dibunuh, namun ia tetap menghadapinya dengan tenang. Bahkan ketika ruangan tempat ia berdiam bersama dayang-dayangnya dibakar dalam keadaan terkunci, ia tetap berusaha mengembangkan pikiran cinta kasih. Dan setelah meninggal ia terlahir di alam yang lebih tinggi. Dengan memancarkan cinta kasih kita dapat terbebas dari kebencian, amarah, dan dapat hidup tenang di kehidupan sekarang dan berbahagia di kehidupan mendatang.
2.      Karuṇa
Karuṇa adalah sifat belaskasihan yang kita pancarkan kepada makhluk yang sedang menderita atau makhluk yang kurang beruntung. Kita merenungkan jika kita marah kepada seseorang pasti dia akan menjadi sedih dan gelisah karena marah yang kita tujukan kepada seseorang dapat menyakiti hatinya atau bahkan ia akan berbalik membenci kita sehingga kebencian pun bukannya berkurang tapi menjadi semakin membesar. Diibaratkan seperti api yang dibalas dengan api hanya akan menimbulkan api yang lebih besar. Sebaliknya jika api dibalas dengan air maka apinya akan berkurang, mereda, hingga menjadi padam. Dengan demikian ketika timbul kemarahan di dalam batin kita hendaknya kita harus dengan cepat memunculkan perenungan ini hingga kita dapat mengendalikan amarah kita dan dapat melakukan aktivitas tanpa dipenuhi dengan kebencian.
3.      Upekkha
Selain mengembangkan pikiran cinta kasih (mettā), belaskasihan (karuṇa), kita juga dapat mengembangkan keseimbangan batin (upekkha) untuk mengatasi amarah yang timbul dalam batin. Keseimbangan batin ini dapat kita latih dengan melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhavana), namun pada tahapan awal praktik pengembangan keseimbangan batin ini dapat dilakukan dengan cara berusaha menjadikan batin netral tanpa memihak siapapun. Misalkan ketika muncul amarah kita berusaha untuk tidak membenarkan diri kita atau menyalahkan orang lain, tapi kita berusaha tetap menjadi netral tidak memihak diri sendiri ataupun orang lain hingga kita mampu mengendalikan amarah dan dapat hidup dengan bahagia.
4.      Asati amanasikara
Asati berarti tidak memperhatikan, sedangkan amanasikara berarti tidak menghiraukan. Dengan demikian asati amanasikara berarti kita berusaha menghindari, tidak menghiraukan, tidak memperhatikan, dan juga tidak lagi memikirkan orang yang menjadi obyek kemarahan kita hingga kemarahan tersebut benar-benar mereda dan dapat kita kendalikan. Bertemu dengan orang yang menjadi obyek kemarahan kita hanya akan menambah intensitas kemarahan kita jika kita belum mampu mengontrol sepenuhnya amarah yang timbul. Terlebih lagi jika kita selalu memikirkan orang yang menyebabkan kita marah, hal itu hanya akan merugikan diri sendiri. Makan menjadi tidak enak, tidurpun menjadi tidak nyenyak karena pikiran kita selalu dipenuhi oleh amarah kepada orang yang kita benci. Namun jika untuk sementara kita berusaha menghindarinya dan berusaha untuk tidak memikirkan permasalahan tersebut maka sedikit demi sedikit kita akan terbebas dari amarah. Jika kita selalu berusaha memegang erat-erat marah itu diibaratkan seperti kita menggenggam api kemanapun kita pergi. Api itu tidak hanya akan menyakiti diri kita, tapi juga dapat membakar siapapun yang ada di sekitar kita. Untuk itu segera letakkan api kemarahan yang muncul dan segera padamkan agar tidak sampai membakar orang-orang yang ada di sekitar kita.
5.      Kammasakata
Kammasakata berarti kita berusaha merenungkan bahwa apapun yang kita lakukan itulah yang akan kita petik di masa mendatang. Secara singkat kammasakata berarti kita merenungkan tentang fakta kepemilikan kamma. “Seperti benih yang kita tabur, demikianlah buah yang akan kita petik” nampaknya sebuah ungkapan yang sudah akrab di telinga kita yang menunjukkan bahwa apapun yang kita lakukan apakah itu baik atau buruk demikian pula hasil yang akan kita peroleh. Jika kita melakukan hal-hal positif, hal-hal yang baik maka hasilnya akan berbuah kebahagiaan di masa mendatang. Namun sebaliknya jika batin kita selalu dipenuhi dengan kebencian, amarah, dendam yang mendalam, maka kita juga akan memperoleh hasil perbuatan kita dalam bentuk penderitaan. Karena kebencian, amarah, dendam hanya akan membuat batin seseorang menderita dan membuat orang yang dibenci merasa tidak nyaman untuk dekat dengan kita.

Dengan melakukan lima hal tersebut kita akan terbebas dari rasa benci, dendam, amarah, dan kita dapat hidup bahagia tanpa kebencian. Dengan kita memulai dari diri sendiri untuk terbebas dari kebencian, maka kita juga telah mengondisikan lingkungan kita untuk terhindar dari kebencian dan amarah. Terwujudnya lingkungan yang bebas dari kebencian merupakan langkah awal untuk menyelematkan dunia agar terbebas dari peperangan, pembunuhan, dan kita dapat membantu menjaga kedamaian dunia. Semua itu dimulai dari diri sendiri. Semoga semua makhluk terhindar dari segala mara bahaya dan semoga semua makhluk dapat hidup bahagia, damai dan tentram.

Referensi:
-Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi. 2003. Petikan Aṇguttara Nikāya (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati, Endang Widyawati S.Pd). Klaten: Vihara Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa).

1 comment: