Oleh: Nanang Sutrisno
“Pañcime, bhikkhave, āghātapaṭivinayā yattha bhikkhuno
uppanno āghāto sabbaso paṭivinetabbo. Katame pañca?”
(Paṭhamaāghātapaṭivinayasutta,
AN V)
Dalam pergaulan sehari-hari di
masyarakat seseorang tentu akan menemui permasalahan antar individu dengan
individu yang lainnya. Permasalahan yang dialami dapat memberikan kemungkinan
munculnya ketidakcocokan antar teman dan dapat mengarah pada munculnya
kebencian yang apabila tidak disikapi dengan baik dapat menimbulkan konflik
yang lebih besar. Beberapa orang mungkin dapat menunjukkan beberapa cara untuk
mengatasinya. Namun, sudahkan anda tahu bagaimana cara mengatasi kebencian yang
ditunjukkan oleh Buddha?
“Di
tengah-tengah kesibukan saya mengerjakan skripsi sebagai tugas akhir untuk
menyelesaikan perkuliahan, saya menyempatkan menulis artikel ini, mengingat
pentingnya pembahasan mengenai cara untuk mengatasi kemarahan yang disebabkan
adanya kebencian di dalam batin. Karena dengan adanya kemarahan, kebencian,
dendam yang mendalam dapat menyebabkan kerugian bagi diri sendiri, orang lain
dan bahkan lingkungan. Dampak paling besar yang kita rasakan sebagai akibat
adanya kebencian adalah merebaknya kerusuhan, pertengkaran, pembunuhan, dan
perang yang terjadi dimana-mana. Semoga tulisan ini bermanfaat.”
Jarang
dapat ditemui suatu kebencian dapat berubah menjadi cinta, namun yang sering
kita dapati adalah suatu perasaan cinta seringkali berubah menjadi benci. Kasus
seperti ini tentu tidak lagi asing bagi anda yang sering menyaksikan sinetron
ataupun kisah-kisah yang ditayangkan di televisi, terlebih lagi bagi para
remaja. Kehidupan remaja seringkali bersinggungan dengan permasalahan suka dan
tidak suka. Ketika seorang remaja memiliki perasaan suka ataupun tidak suka
kepada sesuatu atau seseorang maka ia tidak memikirkan alasan yang mendorongnya
menyukai atau tidak menyukai hal tersebut, melainkan ia akan mengikutinya
begitu saja.
Merasakan
amarah yang muncul dalam batin terkadang dapat membuat seseorang menjadi
tertekan, stres, muka memerah, ekspresi wajah menjadi menakutkan, dan yang
paling parah dapat menyebabkan meningkatnya aktivitas jantung sehingga
seseorang yang sering marah rawan terkena gangguan jantung dan stroke hingga
meninggal dunia. Semakin sering seseorang marah maka peluang untuk menanggung
resiko-resiko tersebut semakin besar.
Kemarahan
yang muncul dapat saja ’menular’ (baca: dapat mengondisikan) kepada orang lain,
sehingga orang yang menjadi obyek marah tersebut menjadi tertular rasa amarah.
Ada sebuah cerita tentang seorang pimpinan perusahaan asuransi yang mudah marah
dan amarahnya memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Suatu ketika seorang
pimpinan perusahaan asuransi berangkat ke kantor di pagi hari. Di tengah
perjalanannya dia menemui kemacetan yang cukup panjang. Karena memiliki
pekerjaan yang harus ia selesaikan di kantornya ia menjadi terganggu dengan
macet yang sedang dia alami. Kemudian dia berkata kepada supirnya dengan nada
marah, ”memang tidak ada jalan lain ya? Sudah tahu jalan ini sering macet,
masih saja lewat sini!!”, kemudian supirnya menjawab “maaf pak, ini jalan
satu-satunya untuk ke kantor, karena jalan yang lain masih ditutup karena ada
perbaikan”. Mendengar jawaban supir tersebut akhirnya dia menjadi tambah jengkel
dan memutuskan keluar dari mobil dan menuju ke kantor dengan jalan kaki.
Sesampainya
di kantor ia bertemu dengan satpam di kantor tersebut. Dengan tersenyum ramah
sambil membukakan pintu satpam tersebut berkata kepada bosnya ”selamat pagi
bos, kok tumben jalan kaki? Memang mobilnya kemana bos?”. Mendengar sapaan
sekaligus pertanyaan tersebut si pimpinan menjadi tambah marah dan mukanya
memerah. Dia berhenti sejenak, melihat ke arah satpam itu dan dia menunjukkan
ekspresi kekesalannya, namun karena di sana ada banyak orang dia malu untuk
memarahi satpam itu dan dia memutuskan terus berlalu dan berencana untuk
memanggil satpam itu ke ruangannya. Seiring berlalunya si bos, satpam itu
kemudian berkata kepada dirinya sendiri “aku salah apa ya? Kok kayaknya bos
marah banget sama aku?”. Tidak lama kemudian satpam itu dipanggil ke ruangan
bosnya. Setelah beberapa waktu satpam itu keluar dari ruangan bosnya sambil
ngomel-ngomel sendiri karena dia merasa tidak bersalah tetapi malah dimarahi
oleh si bos. Ketika dia keluar dia menabrak cleaning
service alias office boy di
kantor tersebut. Satpam ini tambah kesal dan memaki si office boy dengan berkata “kalau jalan lihat-lihat donk!!”, setelah
meminta maaf kepada satpam itu kemudian si OB tersebut berlalu sambil berkata
kepada dirinya sendiri “aku kan ga sengaja, tapi kok marahnya sampai kayak
gitu” dia menjadi kesal dengan satpam tersebut.
Tidak
lama kemudian jam istirahat siang di hari itu tiba, dan office boy itu pulang ke
rumah karena hari itu hari Sabtu dia hanya bekerja setengah hari. Sesampainya
di rumah dia masih kesal dengan kejadian di kantor tadi pagi. Istrinya
menyambut dengan tersenyum ramah sambil membukakan pintu. Tapi suaminya dengan
kesal berkata kepada istrinya “kenapa senyum-senyum? Bahagia ya ada orang lagi
kesal?!! Masih bau dapur juga, sudah sana cepat selesaikan masaknya, aku sudah
lapar!” kemudian suaminya berlalu. Istrinya menjadi jengkel dan berkata “kenapa
sih bapak ini, saya kan tersenyum untuk menyambut bapak, saya juga sudah
membukakan pintu tapi malah dimarahin” kemudian dia kembali ke dapur untuk
menyelesaikan memasak makanan untuk makan siang. Berselang beberapa waktu
anaknya yang masih SD kelas 2 baru pulang dari sekolah dan bertemu dengan
ayahnya yang sedang menonton TV di ruang keluarga. Kemudian si anak berkata
“ayah tadi aku dikasih PR sama bu guru tapi aku ga bisa mengerjakan, ayah
ajarin aku ya”. Kemudian ayahnya berkata kepada anaknya “kamu itu sama saja
seperti ibumu, sudah tau ayah lagi kesal kamu malah gangguin ayah. Ayah lagi
capek, sana minta ajarin sama ibumu” kata ayahnya dengan nada marah. Karena
jengkel si anak kemudian berlari ke halaman belakang rumah. Sambil menggumam
dia berjalan ke halaman belakang sambil menendang apapun yang ada di depannya.
Bertepatan ketika anak itu di halaman belakang rumah, ia melihat kucing
tetangga melompat memasuki halaman belakang rumahnya kemudian anak ini dengan
jengkel dia berkata “berani-beraninya ya masuk ke rumahku” kemudian anak itu
menendang si kucing dengan sangat keras.
Dari
cerita tersebut dapat kita ketahui bahwa jika rasa marah dalam diri kita tidak
segera diatasi maka bisa berbahaya bagi diri sendiri dan lingkungan. Hanya
berawal dari seorang pimpinan yang merasa jengkel karena macet yang panjang
kemudian menular ke satpam, OB, istri, dan anak office boy tersebut. Namun tidak hanya itu, korban terakhir adalah
kucing tetangga yang tidak tahu apa-apa tetapi mendapatkan tendangan keras dari
si anak. Contoh cerita tersebut hanya sebagai gambaran bahwa rasa marah yang
kita timbul dalam diri kita tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga dapat
merugikan orang lain bahkan makhluk yang tidak bersalahpun bisa menjadi korban.
Dalam
Tipitaka pada kelompok Aṇguttara Nikāya, pañcakanipata, guru agung Buddha
menjelaskan tentang lima cara untuk mengatasi rasa marah, dendam, kebencian
yang telah timbul dalam diri seseorang seperti yang tercantum dalam paṭhamaāghātapaṭivinayasutta,
AN V.
Lima hal tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Mettā
Memancarkan
cinta kasih adalah cara pertama untuk mengatasi kebencian yang ditunjukkan oleh
Guru Agung Buddha. Ketika muncul kebencian di dalam batin hendaknya kita segera
menyadari hal tersebut dan segera berusaha memancarkan cinta kasih kepada orang
yang kita benci. Mengaharapkan orang lain berbahagia, selalu memperoleh
keberuntungan, terhindar dari segala macam bahaya adalah salah satu perenungan
untuk mengembangkan cinta kasih di dalam batin.
Dengan memancarkan cinta kasih banyak sekali
manfaat yang dapat diperoleh, tidak hanya sekedar menghilangkan kebencian namun
juga dapat menambah perbuatan baik. Terdapat sebelas manfaat jika kita
mengembangkan cinta kasih, yaitu dapat tidur dengan tenang; tidak bermimpi
buruk; dicintai oleh manusia; dicintai oleh makhluk yang bukan manusia
(binatang, makhluk-makhluk halus, dll); dilindungi oleh para dewa; api, racun
dan senajata tidak bisa melukainya; pikirannya mudah terkosentrasi; kulit
wajahnya jernih; dapat meninggal dengan tenang; dan jika tidak menembus yang lebih
tinggi, dia akan terlahir di alam Brahma. (AN XI, 16).
Kebahagiaan
dalam memancarkan cinta kasih tidak hanya dapat dirasakan di kehidupan sekarang
saja, namun juga memberikan manfaat di kehidupan mendatang. Seperti kisah Ratu
Samawati yang terkenal dengan dengan kualitas cinta kasihnya yang sangat besar.
Sekalipun ia beberapa kali terancam dibunuh, namun ia tetap menghadapinya
dengan tenang. Bahkan ketika ruangan tempat ia berdiam bersama dayang-dayangnya
dibakar dalam keadaan terkunci, ia tetap berusaha mengembangkan pikiran cinta
kasih. Dan setelah meninggal ia terlahir di alam yang lebih tinggi. Dengan
memancarkan cinta kasih kita dapat terbebas dari kebencian, amarah, dan dapat
hidup tenang di kehidupan sekarang dan berbahagia di kehidupan mendatang.
2.
Karuṇa
Karuṇa adalah
sifat belaskasihan yang kita pancarkan kepada makhluk yang sedang menderita
atau makhluk yang kurang beruntung. Kita merenungkan jika kita marah kepada
seseorang pasti dia akan menjadi sedih dan gelisah karena marah yang kita
tujukan kepada seseorang dapat menyakiti hatinya atau bahkan ia akan berbalik
membenci kita sehingga kebencian pun bukannya berkurang tapi menjadi semakin
membesar. Diibaratkan seperti api yang dibalas dengan api hanya akan
menimbulkan api yang lebih besar. Sebaliknya jika api dibalas dengan air maka
apinya akan berkurang, mereda, hingga menjadi padam. Dengan demikian ketika
timbul kemarahan di dalam batin kita hendaknya kita harus dengan cepat
memunculkan perenungan ini hingga kita dapat mengendalikan amarah kita dan
dapat melakukan aktivitas tanpa dipenuhi dengan kebencian.
3.
Upekkha
Selain
mengembangkan pikiran cinta kasih (mettā),
belaskasihan (karuṇa), kita juga
dapat mengembangkan keseimbangan batin (upekkha)
untuk mengatasi amarah yang timbul dalam batin. Keseimbangan batin ini dapat
kita latih dengan melakukan meditasi ketenangan batin (samatha bhavana), namun pada tahapan awal praktik pengembangan
keseimbangan batin ini dapat dilakukan dengan cara berusaha menjadikan batin
netral tanpa memihak siapapun. Misalkan ketika muncul amarah kita berusaha
untuk tidak membenarkan diri kita atau menyalahkan orang lain, tapi kita
berusaha tetap menjadi netral tidak memihak diri sendiri ataupun orang lain
hingga kita mampu mengendalikan amarah dan dapat hidup dengan bahagia.
4.
Asati
amanasikara
Asati
berarti tidak memperhatikan, sedangkan amanasikara
berarti tidak menghiraukan. Dengan demikian asati
amanasikara berarti kita berusaha menghindari, tidak menghiraukan, tidak
memperhatikan, dan juga tidak lagi memikirkan orang yang menjadi obyek
kemarahan kita hingga kemarahan tersebut benar-benar mereda dan dapat kita
kendalikan. Bertemu dengan orang yang menjadi obyek kemarahan kita hanya akan
menambah intensitas kemarahan kita jika kita belum mampu mengontrol sepenuhnya
amarah yang timbul. Terlebih lagi jika kita selalu memikirkan orang yang menyebabkan
kita marah, hal itu hanya akan merugikan diri sendiri. Makan menjadi tidak
enak, tidurpun menjadi tidak nyenyak karena pikiran kita selalu dipenuhi oleh
amarah kepada orang yang kita benci. Namun jika untuk sementara kita berusaha
menghindarinya dan berusaha untuk tidak memikirkan permasalahan tersebut maka
sedikit demi sedikit kita akan terbebas dari amarah. Jika kita selalu berusaha
memegang erat-erat marah itu diibaratkan seperti kita menggenggam api kemanapun
kita pergi. Api itu tidak hanya akan menyakiti diri kita, tapi juga dapat
membakar siapapun yang ada di sekitar kita. Untuk itu segera letakkan api
kemarahan yang muncul dan segera padamkan agar tidak sampai membakar orang-orang
yang ada di sekitar kita.
5.
Kammasakata
Kammasakata
berarti
kita berusaha merenungkan bahwa apapun yang kita lakukan itulah yang akan kita
petik di masa mendatang. Secara singkat kammasakata
berarti kita merenungkan tentang fakta kepemilikan kamma. “Seperti benih yang kita tabur, demikianlah buah yang akan
kita petik” nampaknya sebuah ungkapan yang sudah akrab di telinga kita yang
menunjukkan bahwa apapun yang kita lakukan apakah itu baik atau buruk demikian
pula hasil yang akan kita peroleh. Jika kita melakukan hal-hal positif, hal-hal
yang baik maka hasilnya akan berbuah kebahagiaan di masa mendatang. Namun
sebaliknya jika batin kita selalu dipenuhi dengan kebencian, amarah, dendam
yang mendalam, maka kita juga akan memperoleh hasil perbuatan kita dalam bentuk
penderitaan. Karena kebencian, amarah, dendam hanya akan membuat batin
seseorang menderita dan membuat orang yang dibenci merasa tidak nyaman untuk
dekat dengan kita.
Dengan melakukan
lima hal tersebut kita akan terbebas dari rasa benci, dendam, amarah, dan kita
dapat hidup bahagia tanpa kebencian. Dengan kita memulai dari diri sendiri
untuk terbebas dari kebencian, maka kita juga telah mengondisikan lingkungan
kita untuk terhindar dari kebencian dan amarah. Terwujudnya lingkungan yang
bebas dari kebencian merupakan langkah awal untuk menyelematkan dunia agar
terbebas dari peperangan, pembunuhan, dan kita dapat membantu menjaga kedamaian
dunia. Semua itu dimulai dari diri sendiri. Semoga semua makhluk terhindar dari
segala mara bahaya dan semoga semua makhluk dapat hidup bahagia, damai dan
tentram.
Referensi:
-Nyanaponika
Thera dan Bhikkhu Bodhi. 2003. Petikan Aṇguttara Nikāya (diterjemahkan ke
Bahasa Indonesia oleh Dra. Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati, Endang
Widyawati S.Pd). Klaten: Vihara Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa).
6. Smile to anyone eveytime..^_^
ReplyDelete