Abad ke-6 SM
merupkan suatu zaman yang penting dalam sejarah India. Tetapi sejarah yang
menarik bukanlah meliputi seluruh India melainkan hanya meliputi India utara.
Pada zaman itu tidak terdapat kekuasaan mutlak. India terbagi menjadi
negara-negara kecil yang banyak sekali. Pada abad itu terdapat 16 negara
kerajaan atau Mahajanapada.
Dari 16 Mahajanapada itu ada 4 yang dianggap
mempunyai kekuatan yang diaggap cukup berkuasa, yaitu: Magadha, Kosala, Vamsa,
dan Avanti. Berdekatan dengan kerajaan ini pula ada kerajaan kecil yang
bersifat republik yang relatif berdiri sendiri dengan bebas. Pemimpin dari
suku-suku bangsa ini yang akan sering terdenganr adalah Suku Sakya dari
Kerajaan Kapilavathu. Lainnya adalah Suku Bhagga dari kerajaan Sunsumara, Suku
Bulli dari Kerajaan Allakappa, dan Suku Koliya dari Kerajaan Ramagama.
Kebanyakan dari suku-suku bangsa ini secara perlahan-lahan lenyap ke dalam
pengaruh Kerajaan Magadha yang semakin meluas.
Struktur Sosial dan Ekonomi
Seluruh
struktur sosial pada zaman itu berdasarkan sistem kasta atau dissebut “vanna”
atau disebut juga varna (Sansekerta) oleh orang-orang golongan Ariya. Ada empat tingkatan kasta, yaitu:
1.
Kasta Brahmana, yaitu para rohaniawan (atau juga
disebut golongan Brahmin)
2.
Kasta Ksatria, yaitu para kepala dan anggota
lembaga pemerintahan.
3.
Kasta Waisya, para pekerja di bidang ekonomi.
4.
Kasta Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas
melayani/membantu ketiga kasta di
atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta/ Catur Varna tersebut, ada pula golongan:
1)
Kaum
Paria, golongan yang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan
kesalahan besar.
2)
Kaum
Candala, golongan orang yang berasal dari perkawinan antar kasta[1].
Keadaan
perekonomian masyarakat pada waktu itu cukup maju, di samping pertanian yang
merupakan mata pencaharian utama, perindustrian juga mencapai tingkat kemajuan
yang tinggi. Selain para petani dan para pekerja kerajinan tangan, ada juga
para kaum pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka hilir mudik
sungai-sungai besar dan mengelilingi
negara-negara tadi dengan kereta dagangan mereka. Transaksi-transaksi dagang
dilaksanakan dengan menggunakan kahapana,
yaitu mata uang tembaga berbentuk persegi. Sistem perdagangan dengan
tukar-menukar telah lenyap. Juga telah digunakan surat kredit dan surat janji.
Belum ada sistem perbankan. Uang kekayaan seseorang biasanya disimpan di dalam
rumah atau dikubur di dalam tanah. Umumnya rakyat biasa merupakan kaum petani
dan pekerja kerajinan tangan yang bekerja cukup makmur.
Kepercayaan Keagamaan
Masalah
kerohanian agaknya merupakan suatu hal yang menonjol. Banyak muncul
aliran-aliran pemikiran atau filsafat keagamaan. Dalam Brahmajala Sutta
menyebutkan adanya 62 aliran pemikiran filsafat.
Ketahayulan Para Brahmana
Pada masa
itu rakyat banyak terpengaruh dengan ketahayulan tentang pengorbanan untuk para
dewa. Pada mulanya, rakyat yang belum sadar mempercayai ketahayulan serta
perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal itu, dan mereka menjalankannya secara
besar-besaran.
Akan tetapi
berangsur-angsur orang mulai menyangsikan akan manfaat dari pengorbanan seperti
itu. Oleh karena mereka merasa bahwa upacara-upacara itu tidak menghasilkan
dalam hidup mereka, maka munculah tokoh-tokoh yang menggulingkan kaum Brahmana dan berusaha menegakkan
filsafat serta tata susila mereka sendiri dengan bebas. Diantara mereka
terdapat orang-orang yang tidak percaya akan kehidupan setelah kematian
sehingga berusaha menikmati kehidupan ini sepuas-puasnya. Di samping itu,
terdapat pula orang-orang yang ingin mencapai kebahagiaan dengan penyiksaan
diri.
Masyarakat Pada Masa Buddha di India
Reformasi dan Revolusi Brahmanisme
Menurut
Kamus Ilmiah Populer, reformasi diartikan sebagai perubahan radikal[2]
untuk perbaikan (bidang sosial, politik, hukum, dsb) dalam suatu masyarakat
atau negara. Sedangkan revolusi berarti proses perubahan yang berlangsung cepat
dan mendasar dalam suatu bidang. Brahmanisme sendiri merupakan suatu paham yang
dianut oleh para Brahmin. Jadi, yang dimaksud reformasi dan revolusi
brahmanisme adalah perubahan secara mendasar untuk perbaikan dalam bidang
pemikiran filsafat, kebudayaan, sosial, maupun dalam bidang ritual, sebagai
dampak munculnya ajaran Sang Buddha di India.
Salah satu
perombakan yang dilakukan oleh Sang Buddha di bidang filsafat adalah ajaran
Beliau tentang anatta (tanpa aku yang
kekal). Menurut ajaran sistem veda-Brahmana,
tujuan terakhir dari latihan rohani adalah moksha,
yang dipandang secara positif sebagai penyatuan atman (jiwa manusia yang terdalam) kepada brahman (jiwa semesta). (Cornelis wowor.2004:20).
Sang buddha
tidak mengakui adanya inti yang abadi dan bersifat pribadi atau atta, baik dalam diri manusia maupun di
alam semesta. Beliau mengajarkan doktrin anatta,
yang unik di antara semua sistem filsafat keagamaan yang ada hingga kini.
Sikap Sang
Buddha terhadap sistem Varna (kasta)
di India pun, bersifat revolusioner. Beliau bersabda: “Bukan karena keturunan,
seseorang menjadi brahmana atau bukan bramana; melainkan karena tindakannyalah
seseorang menjadi brahmana atau bukan brahmana.” (Sutta Nipata, hal:115).
Penghilangan Upacara Persembahan Makhluk Hidup
Tradisi
ritual yang berkembang pada kalangan masyarakat India pada saat itu adalah melakukan
persembahan kepada para dewa.
Kebiasaan
ini diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa
ada makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang diterima oleh
manusia. Dengan alasan itu para brahmin menciptakan sarana upacara persembahan
kepada dewa-dewa dengan jalan upacara-upacara korban. Tujuannya adalah dengan
korban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak
menjatuhkan malapetaka bagi manusia.
Sang Buddha
memberikan penolakan terhadap upacara-upacara korban yang menggunakan binatang
sebagai korbannya. Sebagai gantinya, Sang Buddha mengajarkan kasih sayang
terhadap semua makhluk. Hal ini juga dijelaskan dalam Kåñadanta Sutta, Dhîga Nikaya,yaitu dalam
dialog antara Sang Buddha dengan Brahmana Kûöadanta yang
bertanya kepada Sang Buddha mengenai upacara pengorbanan yang dapat membawa
pahala yang besar.
‘...Dalam
upacara pengorbanan ini, Brahmana, tidak ada kerbau yang disembelih, tidak ada
kambing atau domba, tidak ada ayam dan babi, tidak juga berbagai makhluk hidup
yang dibunuh, juga tidak ada pohon yang ditebang sebagai tiang pengorbanan,
juga tidak ada rumput yang dipotong sebagai rumput pengorbanan, dan mereka yang
disebut budak atau pelayan atau pekerja tidak bekerja karena takut akan pukulan
atau ancaman, mereka tidak menangis atau bersedih. Tetapi mereka yang ingin
melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan
tidak melakukannya; mereka melakukan apa yang mereka inginkan; dan tidak
melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Pengorbanan itu diselenggarakan
dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup...’ (Team Giri Mañgala Publication dan Team DhammaCitta Press, 2009:92)
Dāna
Dâna merupakan
suatu langkah awal yang penting di dalam praktek Buddhis. Ada 3 faktor yang
menentukan besarnya jasa kebajikan yang diperoleh dari berdana, yaitu sifat
dari motif pendana; kemurnian spiritual si penerima; dan jenis serta ukuran
yang didanakan.
Pada masa
kehidupan Sang Buddha, beliau biasanya juga memberikan khotbah anupubbhikathâ yang diawali dengan dânakatha kepada
para umat.
Siswa-siswa
Sang Buddha pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama, yang terkenal dengan
kedermawanannya adalah Anâthapiódika dan Visâkhâ.
Sikap
pendana dalam tindakan berdana membuat perbedaan yang sangat besar, yaitu dalam
hal niat baik yang ada di antara si pendana dan si penerima tanpa mempedulikan
apakah benda yang didanakan itu besar atau kecil.
Cara-cara
berdana yang baik hendaknya:
a.
Sakkaccaæ dânaæ deti (dâna seharusnya diberikan dengan cara
sedemikian sehingga yang diberi tidak merasa dihina, dikecilkan atau
tersinggung).
b.
Cittikatvâ dânaæ deti (dâna seharusnya diberikan dengan
pertimbangan yang sesuai dan dengan rasa hormat).
c.
Sahattha deti (orang idealnya memberi dengan
tangannya sendiri).
d.
Na apaviddhaæ deti (orang seharusnya tidak memberikan dâna apa yang
hanya cocok untuk dibuang).
e.
Na anâgamanadiööhiko deti (
orang seharusnya tidak memberikan dâna dengan cara yang amat sembarangan
sehingga membuat si penerima merasa tidak ingin datang lagi).
Berdana memiliki nilai yang luar
biasa pentingnya untuk pemurnian mental, karena berdana merupakan salah satu
cara untuk melawan keserakahan (Lobha).
Jika seseorang mengetahui manfaat-manfaat moral dari berdana, maka ia akan
rajin menggunakan kesempatan yang ada untuk mempraktekkan kebajikan yang besar
ini. Dengan berdana, maka hal tersebut dapat meningkatkan persatuan sosial dan
solidaritas. Berdana juga merupakan sarana yang baik untuk menjembatani
kesenjangan psikologis dan materi, yang ada di antara masyarakat yang mampu dan
yang kurang mampu.
Nalanda
Nalanda Sebagai Lembaga
Pendidikan
Nalanda terletak di utara Rajgir
(Rajagaha), di distri Patana, Bihar, India. Menurut catatan yang terdapat di
Tibet, seorang ahli filsafat Buddhis terkenal, Nagarjuna, pada abad ke-3 Masehi
pernah belajar di tempat ini. Dari penelitian ternyata bahwa bangunan dari
vihara-vihara yang terdapat di Nalanda termasuk dari zaman Gupta (abad 5
Masehi). Kemudian pada abad ke-7 seorang raja yang perkasa dari Kanauj bernama
Harsavardhana mempunyai andil yang besar dalam pembangunan Nalanda. Ketika
itulah Yuan Chwang datang dari negeri China dan belajar di tempat itu selama 5
tahun. Selanjutnya I-Tsing dari generasi kemudian, pernah belajar di tempat itu
selama aepuluh tahun. Nalanda berkembang pesat di zaman Pala (abad ke-8 sampai
dengan abad ke-12) sebagai pusat studi dari patung-patung keagamaan yang di
buat dari batu-batu dan perunggu.
Menurut catatan para peziarah, sejak
zaman Gupta vihara-vihara di Nalanda dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Dari
penggalian yang dilakukan oleh para ilmuwan dapat diketemukan satu deretan dari
sepuluh vihara besar yang dibangun dengan menggunakan batu bata model India,
dengan lubang-lubang di atas tembok pekarangan dan jalan masuk utama di satu
bagian dan tempat pemujaan (cetiya)
yang berhadapan dengan jalan masuk di seberangnya.di depan vihara terdapat satu
deretan stupa yang lebih besar, semuanya terbuat dari batu bata dan semen. Kompleks
ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan disebut Mahavihara atau Vihara Agung.
Selama lima ratus tahun dari abad
ke-4 sampai abad ke-8, di bawah pemerintahan dinasti Gupta dan Harsa dan
keturunannya merupakan kurun waktu yang penting dalam sejarah India. Kurun
waktu itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, matematika, dan astronomi dari
Universitas Nalanda dan Valabhi. Universitas Nalanda ditopang keberadaannya
oleh enam generasi dari Kerajaan Gupta. Lembaga ini mempunyai beribu-ribu guru
dan pelajar yang semuanya dibiayai keperluannya dari penghasilan lebih dari 200
desa.
Karena kemahsyurannya, Nalanda
menarik perhatian orang-orang asing, tetapi untuk dapat diterima menjadi siswa
ternyata tidak mudah. Ini disebabkan karena tes masuknya susah, sehingga hanya
2 atau 3 orang saja yang diterima dari sepuluh orang yang ingin masuk
pendidikan. Lebih dari 1.500 orang guru tiap hari membahas lebih dari 100 macam
makalah. Yang dibahas meliputi hal-hal tentang Veda, matematika, tata bahasa,
filsafat, astronomi, dan ilmu pengobatan. Pusat-pusat ajaran Sang Buddha yang
lain setelah zaman Gupta berada di Vikramasila, Odantapuri, dan Jaggaddala.
Pencapaian dalam ilmu pengetahuan
juga sangat pesat. Ilmuwan Aryabratha di abad ke-5 merupakan yang terbesar di
zamannya dalam ilmu matematik. Aryabratha adalah orang yang untuk pertama
kalinya memperkenalkan pemakaian 0 (nol) dan desimal.
Varahamira dari zaman Gupta, adalah
seorang ilmuwan yang terkenal dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti
kebudayaan, seni pertanian, astronomi, ilmu kemiliteran dan ilmu bangunan. Ilmu
kedokteran juga berkembang dengan pesat. Pada zaman itu ada delapan ilmu
kedokteran, termasuk ilmu bedah dan ilmu kesehatan anak yang dipraktikkan oleh
para dokter. Inilah perkembangan dalam ilmu pengetahuan sampai pada masa
penyerbuan kaum Muslim ke India.
Ketika berada di India, Yuan Chwang,
seorang bhikshu Mahayana yang terpelajar, belajar filsafat India, agama Buddha
dan Brahmanisme di berbagai vihara, sendiri-sendiri atau di bawah bimbingan
guru India yang termasyur di zaman itu. Ia membuat catatan khusus tentang dua
lembaga pendidikan yang sangat terkenal di India, yaitu Nalanda di bagian Timur
dan Valabhi di bagian Barat India yang menjadi pusat agama Buddha aliran
Theravada.
Tetapi mengenai Nalanda yang menajdi
pusat agama Buddha aliran Mahayana ia membuat catatan yang agak terperinci. Di
Nalanda Yuan Chwang mempelajari filsafat yoga di bawah bimbingan kepala
lembaga, yaitu Silabhadra selama lima tahun.
Dengan memiliki tujuan yang beraneka
ragam, tempat kuliah yang memadai, perpustakaan, tata tertib untuk penerimaan
mahasiswa baru dan kehadirannya pada kuliah-kuliah, dan sistem yang lengkap
dari administrasi akademik, Nalanda menjadi sebuah lembaga pendidikan raksasa
yang terdapat di vihara. Tentang bagaimana besarnya Nalanda dapat dinilai dari
catatan Yuan Chwang, bahwa Nalanda ini menurun di zaman I-Tsing (+ tahun
685) hingga lebih sedikit dari 3.000 mahasiswa.
Diberitakan bahwa setiap hari
disiapkan seratus mimbar untuk mengadakan diskusi. Ruang lingkup studi meliputi
hal-hal mengenai agama (agama Buddha dan/atau Brahmanisme) dan mengenai non
agama; para mahasiswa boleh menentukan pilihannya sendiri.
Para bhikshu yang berjumlah 10.000
orang semua mempelajari agama Buddha Mahayana dan segala sesuatu yang termasuk
dalam 18 sekte, bahkan juga buku-buku lain seperti Veda, Hetavidya, Sabdavidya,
Cikitsavidya, ajaran tentang magic (Athara Veda) dan Sankhya di samping secara
mendalam menyelidiki buku-buku lain. Terdapat 1000 orang yang berkemampuan
menerangkan 20 kumpulan sutra, 500 orang barangkali 10 orang, termasuk
guru-guru Dhamma yang dapat mejelaskan 50 kumpulan sutra.
Nalanda juga menjadi terkenal karena
“pendidikan melalui diskusi”. Mereka menghubungkannya kembali kepada tradisi
India kuno yang sudah membudaya dalam pendidikan di vihara, yaitu kembali
kepada cara-cara yang lama, yaitu belajar dari mulut ke mulut. Lembaga
pendidikan ini menarik pelajar-pelajar dari seluruh India, bahkan ada yang
datang dari Timur Jauh dan juga dari Tibet. Dengan belajar dan berdiskusi
membuat waktu berlalu dengan cepat. Topik pembahasan yang tidak dibatasi dan
pembahasan yang terbuka yang dipraktikkan di Nalanda dan lembaga pendidikan
lain di vihara-vihara memberi sumbangan yang sangat besar sehingga terjadi
proses pembauran dari pemikiran dan kebudayaan mengenai agama buddha dan
brahmanisme yang dapat menggugah rasa ingin tahu tentang wajah dari periode
terakhir dari sejarah India Kuno.
Hancurnya Nalanda
Nalanda telah mencapai puncak
kemasyurannya sebaga lembaga pendidikan tinggi di abad ke-6, tetapi harus
menyerah ketika ada penyerbuan dari kaum Muslim dari Bihar pada +tahun
1197 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari catatan waktu oleh Minhaz yang
menceritakan tentang pembantaian besar-besaran dari para bhikkhu.
Agama Buddha India menjadi lemah pada
abad ke-7 mengikuti invasi Hun Putihdan Islam. Namun, di bawah Kekaisaran Pala,
Mazhab Mahayana berkembang kembali antara abad ke-8 dan ke-12. Kaum Pala banyak
mendirikan kuil-kuil dan sebuah aliran seni Buddha yang khas.
Sebuah tonggak bersejarah penting
dalam runtuhnya agama Buddha di India terjadi pada tahun 1193 ketika para
penakluk Islam Turki di bawah pimpinan Muhammad Khilji menghancurkan Nalanda.
Pada akhir abad ke-12, setelah penaklukan oleh kaum Islam atas benteng-benteng
Buddha di Bihar, keberadaan kaum Buddha di India menjadi langka. Selain itu
pengaruh agama Buddha juga pudar akibat gerakan renaisans Hindu seperti Advaita
dan munculnya gerakan bhakti. Meskipun lahir di India, pada awal abad ke-20,
agama Buddha hanya dipeluk oleh beberapa orang di daerah-daerah terpencil di
India.
Lambang Nalanda terdiri dari: bagian
atas terdapat Dharmacakra dengan masing-masing seekor rusa di kedua sisinya,
bagian bawah terdapat tulisan yang berbunyi
“Sri-Nalanda-Mahavihariya-Ariya-Bhiksusamghasya”.
Masyarakat Pra
Sailendra
Sailendra adalah nama wangsa atau
dinasti yang sebagian besar raja-rajanya menganut agama Buddha Mahayana yang
berkuasa di Medan, Kerajaan Mataram Kuno sejak tahun 752. Wangsa ini hidup
berdampingan dengan Wangsa Sanjaya yang berkuasa sejak tahun 732, di daerah
Jawa Tengah bagian selatan. Namun dalam pembahasan ini kita kita hanya membahas
mengenai masa Pra Sailendra.
Di Indonesia nama Sailendra dijumpai
pertama kali di dalam pPrasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi. Sebelum masa ini
masyarakat Indonesia masih tergolong primitif. Kehidupan masyarakat pada masa
itu masih sangat tergantung kepada alam. Selain itu mereka belum mengenal
istilah agama, yang ada pada saat itu adalah kepercayaan, karena istilah agama
berasal dari Bahasa Sansekerta yang ‘berarti tidak kacau’. Seorang ilmuwan
Inggris Edward Burnet Taylor (1832-1917), dalam bukunya yang terkenal “The
Primitif Culture” (1872), mengatakan bahwa pada masa tersebut kepercayaan
masyarakat dikenal dengan sebutan Animisme dan Dinamisme.
Animisme dan Dinamisme
Animisme
Kepercayaan animisme (dari Bahasa
Latin anima atau “roh”) adalah
kepercayaan kepada makhluk halus dan roh, merupakan asas kepercayaan agama yang
mula-mula di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa
setiap benda di di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar),
mempunyai jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, tetapi
sebaliknya malah membantu mereka dari roh jahat dan juga dalam kehidupan
keseharian mereka.
Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami
tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai
bahwa roh orang yang telah mati dapat masuk ke dalam tubuh hewan.
Animisme atau animisma (Latin)
berarti jiwa atau faham keagamaan juga ada pada manusia primitif yang
mempercayai adanya roh pada masyarakat animis. Pertama: penyembahan terhadap
roh atau makhluk halus yang keluar dari orang mati. Kedua: penyemabhan kepada
makhluk halus yang menjadi unsur
sendirinya. Contohnya apabila orang meninggal, maka rohnya dianggap
hidup lagi dan roh tersebut dapat bertemu dengan roh manusia yang masih hidup.
Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar roh itu mendatangkan
kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan.
Roh yang dianggap berbahaya bagi
orang hidup, bukan saja berasal dari manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan,
batu, dan benda-benda lain. (lihat : “Antropolog, suatu pengantar,
Koenjaraningrat hal:73).
Dinamisme
Kata dinamisme berasal dari kata yang terdapat dari Bahasa
Yunani, yaitu dunamos dan
diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan
dengan daya.
No comments:
Post a Comment