Tuesday 27 November 2012

Masyarakat India Pra Buddha



Abad ke-6 SM merupkan suatu zaman yang penting dalam sejarah India. Tetapi sejarah yang menarik bukanlah meliputi seluruh India melainkan hanya meliputi India utara. Pada zaman itu tidak terdapat kekuasaan mutlak. India terbagi menjadi negara-negara kecil yang banyak sekali. Pada abad itu terdapat 16 negara kerajaan atau Mahajanapada.
Dari 16 Mahajanapada itu ada 4 yang dianggap mempunyai kekuatan yang diaggap cukup berkuasa, yaitu: Magadha, Kosala, Vamsa, dan Avanti. Berdekatan dengan kerajaan ini pula ada kerajaan kecil yang bersifat republik yang relatif berdiri sendiri dengan bebas. Pemimpin dari suku-suku bangsa ini yang akan sering terdenganr adalah Suku Sakya dari Kerajaan Kapilavathu. Lainnya adalah Suku Bhagga dari kerajaan Sunsumara, Suku Bulli dari Kerajaan Allakappa, dan Suku Koliya dari Kerajaan Ramagama. Kebanyakan dari suku-suku bangsa ini secara perlahan-lahan lenyap ke dalam pengaruh Kerajaan Magadha yang semakin meluas.
Struktur Sosial dan Ekonomi
Seluruh struktur sosial pada zaman itu berdasarkan sistem kasta atau dissebut “vanna” atau disebut juga varna (Sansekerta) oleh orang-orang golongan Ariya. Ada empat tingkatan kasta, yaitu:

1.      Kasta Brahmana, yaitu para rohaniawan (atau juga disebut golongan Brahmin)
2.      Kasta Ksatria, yaitu para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
3.      Kasta Waisya, para pekerja di bidang ekonomi.
4.      Kasta Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta/ Catur Varna tersebut, ada pula golongan:
1)      Kaum Paria, golongan yang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan kesalahan besar.
2)      Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari perkawinan antar kasta[1].
Keadaan perekonomian masyarakat pada waktu itu cukup maju, di samping pertanian yang merupakan mata pencaharian utama, perindustrian juga mencapai tingkat kemajuan yang tinggi. Selain para petani dan para pekerja kerajinan tangan, ada juga para kaum pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka hilir mudik sungai-sungai besar dan  mengelilingi negara-negara tadi dengan kereta dagangan mereka. Transaksi-transaksi dagang dilaksanakan dengan menggunakan kahapana, yaitu mata uang tembaga berbentuk persegi. Sistem perdagangan dengan tukar-menukar telah lenyap. Juga telah digunakan surat kredit dan surat janji. Belum ada sistem perbankan. Uang kekayaan seseorang biasanya disimpan di dalam rumah atau dikubur di dalam tanah. Umumnya rakyat biasa merupakan kaum petani dan pekerja kerajinan tangan yang bekerja cukup makmur.
Kepercayaan Keagamaan
Masalah kerohanian agaknya merupakan suatu hal yang menonjol. Banyak muncul aliran-aliran pemikiran atau filsafat keagamaan. Dalam Brahmajala Sutta menyebutkan adanya 62 aliran pemikiran filsafat.
Ketahayulan Para Brahmana
Pada masa itu rakyat banyak terpengaruh dengan ketahayulan tentang pengorbanan untuk para dewa. Pada mulanya, rakyat yang belum sadar mempercayai ketahayulan serta perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal itu, dan mereka menjalankannya secara besar-besaran.
Akan tetapi berangsur-angsur orang mulai menyangsikan akan manfaat dari pengorbanan seperti itu. Oleh karena mereka merasa bahwa upacara-upacara itu tidak menghasilkan dalam hidup mereka, maka munculah tokoh-tokoh yang menggulingkan kaum Brahmana dan berusaha menegakkan filsafat serta tata susila mereka sendiri dengan bebas. Diantara mereka terdapat orang-orang yang tidak percaya akan kehidupan setelah kematian sehingga berusaha menikmati kehidupan ini sepuas-puasnya. Di samping itu, terdapat pula orang-orang yang ingin mencapai kebahagiaan dengan penyiksaan diri.

 

Masyarakat Pada Masa Buddha di India
Reformasi dan Revolusi Brahmanisme
Menurut Kamus Ilmiah Populer, reformasi diartikan sebagai perubahan radikal[2] untuk perbaikan (bidang sosial, politik, hukum, dsb) dalam suatu masyarakat atau negara. Sedangkan revolusi berarti proses perubahan yang berlangsung cepat dan mendasar dalam suatu bidang. Brahmanisme sendiri merupakan suatu paham yang dianut oleh para Brahmin. Jadi, yang dimaksud reformasi dan revolusi brahmanisme adalah perubahan secara mendasar untuk perbaikan dalam bidang pemikiran filsafat, kebudayaan, sosial, maupun dalam bidang ritual, sebagai dampak munculnya ajaran Sang Buddha di India.
Salah satu perombakan yang dilakukan oleh Sang Buddha di bidang filsafat adalah ajaran Beliau tentang anatta (tanpa aku yang kekal). Menurut ajaran sistem veda-Brahmana, tujuan terakhir dari latihan rohani adalah moksha, yang dipandang secara positif sebagai penyatuan atman (jiwa manusia yang terdalam) kepada brahman (jiwa semesta). (Cornelis wowor.2004:20).
Sang buddha tidak mengakui adanya inti yang abadi dan bersifat pribadi atau atta, baik dalam diri manusia maupun di alam semesta. Beliau mengajarkan doktrin anatta, yang unik di antara semua sistem filsafat keagamaan yang ada hingga kini.
Sikap Sang Buddha terhadap sistem Varna (kasta) di India pun, bersifat revolusioner. Beliau bersabda: “Bukan karena keturunan, seseorang menjadi brahmana atau bukan bramana; melainkan karena tindakannyalah seseorang menjadi brahmana atau bukan brahmana.” (Sutta Nipata, hal:115).
Penghilangan Upacara Persembahan Makhluk Hidup
Tradisi ritual yang berkembang pada kalangan masyarakat India pada saat itu adalah melakukan persembahan kepada para dewa.
Kebiasaan ini diawali dengan munculnya ajaran brahmanisme. Ajaran ini menunjukkan bahwa ada makhluk dewa yang berkuasa atau mengatur segala sesuatu yang diterima oleh manusia. Dengan alasan itu para brahmin menciptakan sarana upacara persembahan kepada dewa-dewa dengan jalan upacara-upacara korban. Tujuannya adalah dengan korban yang diberikan kepada para dewa, mereka akan menjadi senang dan tidak menjatuhkan malapetaka bagi manusia.
Sang Buddha memberikan penolakan terhadap upacara-upacara korban yang menggunakan binatang sebagai korbannya. Sebagai gantinya, Sang Buddha mengajarkan kasih sayang terhadap semua makhluk. Hal ini juga dijelaskan dalam Kåñadanta Sutta, Dhîga Nikaya,yaitu dalam dialog antara Sang Buddha dengan Brahmana Kûöadanta yang bertanya kepada Sang Buddha mengenai upacara pengorbanan yang dapat membawa pahala yang besar.
‘...Dalam upacara pengorbanan ini, Brahmana, tidak ada kerbau yang disembelih, tidak ada kambing atau domba, tidak ada ayam dan babi, tidak juga berbagai makhluk hidup yang dibunuh, juga tidak ada pohon yang ditebang sebagai tiang pengorbanan, juga tidak ada rumput yang dipotong sebagai rumput pengorbanan, dan mereka yang disebut budak atau pelayan atau pekerja tidak bekerja karena takut akan pukulan atau ancaman, mereka tidak menangis atau bersedih. Tetapi mereka yang ingin melakukan sesuatu akan melakukannya, dan mereka yang tidak ingin melakukan tidak melakukannya; mereka melakukan apa yang mereka inginkan; dan tidak melakukan apa yang tidak mereka inginkan. Pengorbanan itu diselenggarakan dengan ghee, minyak, mentega, dadih, madu, dan sirup...’ (Team Giri Mañgala Publication dan Team DhammaCitta Press, 2009:92)
Dāna
Dâna merupakan suatu langkah awal yang penting di dalam praktek Buddhis. Ada 3 faktor yang menentukan besarnya jasa kebajikan yang diperoleh dari berdana, yaitu sifat dari motif pendana; kemurnian spiritual si penerima; dan jenis serta ukuran yang didanakan.
Pada masa kehidupan Sang Buddha, beliau biasanya juga memberikan khotbah anupubbhikathâ yang diawali dengan dânakatha kepada para umat.
Siswa-siswa Sang Buddha pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama, yang terkenal dengan kedermawanannya adalah Anâthapiódika dan Visâkhâ.
Sikap pendana dalam tindakan berdana membuat perbedaan yang sangat besar, yaitu dalam hal niat baik yang ada di antara si pendana dan si penerima tanpa mempedulikan apakah benda yang didanakan itu besar atau kecil.

Cara-cara berdana yang baik hendaknya:
a.      Sakkaccaæ dânaæ deti (dâna seharusnya diberikan dengan cara sedemikian sehingga yang diberi tidak merasa dihina, dikecilkan atau tersinggung).
b.      Cittikatvâ dânaæ deti (dâna seharusnya diberikan dengan pertimbangan yang sesuai dan dengan rasa hormat).
c.       Sahattha deti (orang idealnya memberi dengan tangannya sendiri).
d.      Na apaviddhaæ deti (orang seharusnya tidak memberikan dâna apa yang hanya cocok untuk dibuang).
e.      Na anâgamanadiööhiko deti ( orang seharusnya tidak memberikan dâna dengan cara yang amat sembarangan sehingga membuat si penerima merasa tidak ingin datang lagi).
Berdana memiliki nilai yang luar biasa pentingnya untuk pemurnian mental, karena berdana merupakan salah satu cara untuk melawan keserakahan (Lobha). Jika seseorang mengetahui manfaat-manfaat moral dari berdana, maka ia akan rajin menggunakan kesempatan yang ada untuk mempraktekkan kebajikan yang besar ini. Dengan berdana, maka hal tersebut dapat meningkatkan persatuan sosial dan solidaritas. Berdana juga merupakan sarana yang baik untuk menjembatani kesenjangan psikologis dan materi, yang ada di antara masyarakat yang mampu dan yang kurang mampu.

Nalanda

Nalanda Sebagai Lembaga Pendidikan
Nalanda terletak di utara Rajgir (Rajagaha), di distri Patana, Bihar, India. Menurut catatan yang terdapat di Tibet, seorang ahli filsafat Buddhis terkenal, Nagarjuna, pada abad ke-3 Masehi pernah belajar di tempat ini. Dari penelitian ternyata bahwa bangunan dari vihara-vihara yang terdapat di Nalanda termasuk dari zaman Gupta (abad 5 Masehi). Kemudian pada abad ke-7 seorang raja yang perkasa dari Kanauj bernama Harsavardhana mempunyai andil yang besar dalam pembangunan Nalanda. Ketika itulah Yuan Chwang datang dari negeri China dan belajar di tempat itu selama 5 tahun. Selanjutnya I-Tsing dari generasi kemudian, pernah belajar di tempat itu selama aepuluh tahun. Nalanda berkembang pesat di zaman Pala (abad ke-8 sampai dengan abad ke-12) sebagai pusat studi dari patung-patung keagamaan yang di buat dari batu-batu dan perunggu.
Menurut catatan para peziarah, sejak zaman Gupta vihara-vihara di Nalanda dikelilingi oleh tembok yang tinggi. Dari penggalian yang dilakukan oleh para ilmuwan dapat diketemukan satu deretan dari sepuluh vihara besar yang dibangun dengan menggunakan batu bata model India, dengan lubang-lubang di atas tembok pekarangan dan jalan masuk utama di satu bagian dan tempat pemujaan (cetiya) yang berhadapan dengan jalan masuk di seberangnya.di depan vihara terdapat satu deretan stupa yang lebih besar, semuanya terbuat dari batu bata dan semen. Kompleks ini sesuai dengan prasasti yang ditemukan disebut Mahavihara atau Vihara Agung.
Selama lima ratus tahun dari abad ke-4 sampai abad ke-8, di bawah pemerintahan dinasti Gupta dan Harsa dan keturunannya merupakan kurun waktu yang penting dalam sejarah India. Kurun waktu itu adalah berkembangnya ilmu pengetahuan, matematika, dan astronomi dari Universitas Nalanda dan Valabhi. Universitas Nalanda ditopang keberadaannya oleh enam generasi dari Kerajaan Gupta. Lembaga ini mempunyai beribu-ribu guru dan pelajar yang semuanya dibiayai keperluannya dari penghasilan lebih dari 200 desa.
Karena kemahsyurannya, Nalanda menarik perhatian orang-orang asing, tetapi untuk dapat diterima menjadi siswa ternyata tidak mudah. Ini disebabkan karena tes masuknya susah, sehingga hanya 2 atau 3 orang saja yang diterima dari sepuluh orang yang ingin masuk pendidikan. Lebih dari 1.500 orang guru tiap hari membahas lebih dari 100 macam makalah. Yang dibahas meliputi hal-hal tentang Veda, matematika, tata bahasa, filsafat, astronomi, dan ilmu pengobatan. Pusat-pusat ajaran Sang Buddha yang lain setelah zaman Gupta berada di Vikramasila, Odantapuri, dan Jaggaddala.
Pencapaian dalam ilmu pengetahuan juga sangat pesat. Ilmuwan Aryabratha di abad ke-5 merupakan yang terbesar di zamannya dalam ilmu matematik. Aryabratha adalah orang yang untuk pertama kalinya memperkenalkan pemakaian 0 (nol) dan desimal.
Varahamira dari zaman Gupta, adalah seorang ilmuwan yang terkenal dalam berbagai ilmu pengetahuan, seperti kebudayaan, seni pertanian, astronomi, ilmu kemiliteran dan ilmu bangunan. Ilmu kedokteran juga berkembang dengan pesat. Pada zaman itu ada delapan ilmu kedokteran, termasuk ilmu bedah dan ilmu kesehatan anak yang dipraktikkan oleh para dokter. Inilah perkembangan dalam ilmu pengetahuan sampai pada masa penyerbuan kaum Muslim ke India.
Ketika berada di India, Yuan Chwang, seorang bhikshu Mahayana yang terpelajar, belajar filsafat India, agama Buddha dan Brahmanisme di berbagai vihara, sendiri-sendiri atau di bawah bimbingan guru India yang termasyur di zaman itu. Ia membuat catatan khusus tentang dua lembaga pendidikan yang sangat terkenal di India, yaitu Nalanda di bagian Timur dan Valabhi di bagian Barat India yang menjadi pusat agama Buddha aliran Theravada.
Tetapi mengenai Nalanda yang menajdi pusat agama Buddha aliran Mahayana ia membuat catatan yang agak terperinci. Di Nalanda Yuan Chwang mempelajari filsafat yoga di bawah bimbingan kepala lembaga, yaitu Silabhadra selama lima tahun.
Dengan memiliki tujuan yang beraneka ragam, tempat kuliah yang memadai, perpustakaan, tata tertib untuk penerimaan mahasiswa baru dan kehadirannya pada kuliah-kuliah, dan sistem yang lengkap dari administrasi akademik, Nalanda menjadi sebuah lembaga pendidikan raksasa yang terdapat di vihara. Tentang bagaimana besarnya Nalanda dapat dinilai dari catatan Yuan Chwang, bahwa Nalanda ini menurun di zaman I-Tsing (+ tahun 685) hingga lebih sedikit dari 3.000 mahasiswa.
Diberitakan bahwa setiap hari disiapkan seratus mimbar untuk mengadakan diskusi. Ruang lingkup studi meliputi hal-hal mengenai agama (agama Buddha dan/atau Brahmanisme) dan mengenai non agama; para mahasiswa boleh menentukan pilihannya sendiri.
Para bhikshu yang berjumlah 10.000 orang semua mempelajari agama Buddha Mahayana dan segala sesuatu yang termasuk dalam 18 sekte, bahkan juga buku-buku lain seperti Veda, Hetavidya, Sabdavidya, Cikitsavidya, ajaran tentang magic (Athara Veda) dan Sankhya di samping secara mendalam menyelidiki buku-buku lain. Terdapat 1000 orang yang berkemampuan menerangkan 20 kumpulan sutra, 500 orang barangkali 10 orang, termasuk guru-guru Dhamma yang dapat mejelaskan 50 kumpulan sutra.
Nalanda juga menjadi terkenal karena “pendidikan melalui diskusi”. Mereka menghubungkannya kembali kepada tradisi India kuno yang sudah membudaya dalam pendidikan di vihara, yaitu kembali kepada cara-cara yang lama, yaitu belajar dari mulut ke mulut. Lembaga pendidikan ini menarik pelajar-pelajar dari seluruh India, bahkan ada yang datang dari Timur Jauh dan juga dari Tibet. Dengan belajar dan berdiskusi membuat waktu berlalu dengan cepat. Topik pembahasan yang tidak dibatasi dan pembahasan yang terbuka yang dipraktikkan di Nalanda dan lembaga pendidikan lain di vihara-vihara memberi sumbangan yang sangat besar sehingga terjadi proses pembauran dari pemikiran dan kebudayaan mengenai agama buddha dan brahmanisme yang dapat menggugah rasa ingin tahu tentang wajah dari periode terakhir dari sejarah India Kuno.
Hancurnya Nalanda
Nalanda telah mencapai puncak kemasyurannya sebaga lembaga pendidikan tinggi di abad ke-6, tetapi harus menyerah ketika ada penyerbuan dari kaum Muslim dari Bihar pada +tahun 1197 Masehi. Hal ini dapat diketahui dari catatan waktu oleh Minhaz yang menceritakan tentang pembantaian besar-besaran dari para bhikkhu.
Agama Buddha India menjadi lemah pada abad ke-7 mengikuti invasi Hun Putihdan Islam. Namun, di bawah Kekaisaran Pala, Mazhab Mahayana berkembang kembali antara abad ke-8 dan ke-12. Kaum Pala banyak mendirikan kuil-kuil dan sebuah aliran seni Buddha yang khas.
Sebuah tonggak bersejarah penting dalam runtuhnya agama Buddha di India terjadi pada tahun 1193 ketika para penakluk Islam Turki di bawah pimpinan Muhammad Khilji menghancurkan Nalanda. Pada akhir abad ke-12, setelah penaklukan oleh kaum Islam atas benteng-benteng Buddha di Bihar, keberadaan kaum Buddha di India menjadi langka. Selain itu pengaruh agama Buddha juga pudar akibat gerakan renaisans Hindu seperti Advaita dan munculnya gerakan bhakti. Meskipun lahir di India, pada awal abad ke-20, agama Buddha hanya dipeluk oleh beberapa orang di daerah-daerah terpencil di India.
Lambang Nalanda terdiri dari: bagian atas terdapat Dharmacakra dengan masing-masing seekor rusa di kedua sisinya, bagian bawah terdapat tulisan yang berbunyi “Sri-Nalanda-Mahavihariya-Ariya-Bhiksusamghasya”.

 

Masyarakat Pra Sailendra

Sailendra adalah nama wangsa atau dinasti yang sebagian besar raja-rajanya menganut agama Buddha Mahayana yang berkuasa di Medan, Kerajaan Mataram Kuno sejak tahun 752. Wangsa ini hidup berdampingan dengan Wangsa Sanjaya yang berkuasa sejak tahun 732, di daerah Jawa Tengah bagian selatan. Namun dalam pembahasan ini kita kita hanya membahas mengenai masa Pra Sailendra.
Di Indonesia nama Sailendra dijumpai pertama kali di dalam pPrasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi. Sebelum masa ini masyarakat Indonesia masih tergolong primitif. Kehidupan masyarakat pada masa itu masih sangat tergantung kepada alam. Selain itu mereka belum mengenal istilah agama, yang ada pada saat itu adalah kepercayaan, karena istilah agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang ‘berarti tidak kacau’. Seorang ilmuwan Inggris Edward Burnet Taylor (1832-1917), dalam bukunya yang terkenal “The Primitif Culture” (1872), mengatakan bahwa pada masa tersebut kepercayaan masyarakat dikenal dengan sebutan Animisme dan Dinamisme.

Animisme dan Dinamisme

Animisme
Kepercayaan animisme (dari Bahasa Latin anima atau “roh”) adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh, merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di di bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang harus dihormati agar tidak mengganggu manusia, tetapi sebaliknya malah membantu mereka dari roh jahat dan juga dalam kehidupan keseharian mereka.
Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang telah mati dapat masuk ke dalam tubuh hewan.
Animisme atau animisma (Latin) berarti jiwa atau faham keagamaan juga ada pada manusia primitif yang mempercayai adanya roh pada masyarakat animis. Pertama: penyembahan terhadap roh atau makhluk halus yang keluar dari orang mati. Kedua: penyemabhan kepada makhluk halus yang menjadi unsur  sendirinya. Contohnya apabila orang meninggal, maka rohnya dianggap hidup lagi dan roh tersebut dapat bertemu dengan roh manusia yang masih hidup. Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar roh itu mendatangkan kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan.
Roh yang dianggap berbahaya bagi orang hidup, bukan saja berasal dari manusia, tetapi juga binatang, tumbuh-tumbuhan, batu, dan benda-benda lain. (lihat : “Antropolog, suatu pengantar, Koenjaraningrat hal:73).

Dinamisme

Kata dinamisme berasal dari kata yang terdapat dari Bahasa Yunani, yaitu dunamos dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya.



[1] Biasanya antara kasta yang tinggi dengan kasta yang rendah. Misal: Kasta Ksatria menikah dengan Kasta Waisya atau Kasta Sudra.
[2] Secara mendasar;sampai ke hal-hal yang prinsipil.

No comments:

Post a Comment