Friday 9 November 2012

Berbagi Bahagia Merelakan Dirinya Pergi



Oleh: Ninggrani Pannanandi

Dalam beberapa hari ini Lilin kelihatan berbeda dimata orang tua dan saudara-saudaranya, tapi mereka menganggap ini hal yang biasa. Lilin selalu berusaha untuk dapat ceria seperti biasanya. Namun usahanya itu tak dapat membuat orang-orang disekalilingnya percaya. Ia melakukan semua kegiatannya sehari-hari seperti biasanya. Mulai dari pergi ka wihara pagi-sore, membantu kakaknya memasak, bersih-bersih hingga pergi ke kebun.
 Walaupun berbagai hal telah dilakukannya, namun tak dapat menyembunyikan kekecewaannya. kecewa kepada orang tuanya yang tak pernah lagi menyebut-nyebut dan menyinggung tentang janjinya, untuk memberi ijin padanya untuk kuliah. Dulu, ayahnya bilang bahwa ia akan dikuliahkan setahun lagi, namun tak pernah disinggungnya lagi masalah itu. Selama setahun terakhir Lilin berangan-angan tentang kuliah, bagaimana nanti ia melewatkan hari-harinya denga sibuk sekali bersama buku-buku pelajaran. Bagaimana dia punya teman yang baru. Tapi itu semua hanyalah angan-angan. Bayang-bayang semu yang tercipta, hanya oleh seorang pengharap seperti Lilin.

Hanya satu yang menjadi penampung rasa kesal dan kecewanya, yaitu diary kesayangannya saja. Setiap hari, atau setiap hatinya sedih, kecewa maupun senang selalu dilampiaskannya dengan menulis di diary-nya atau kalau belum puas, dilampiaskannya dengan menangis di kamarnya. Diary adalah teman yang paling setia menurutnya. Kadang saking asyiknya menulis di diary-nya sampai ia lupa makan, sampai-sampai kakaknya marah-marah padanya. Kadang sebelum tidur, ia selalu berpikir tentang masa depannya, tentang keinginannya untuk kuliah.
Teman-temannya juga merasa heran dengan kebiasaan Lilin akhir-akhir ini, mereka sering kali melihat lilin melamun. Tapi selalu disangkalnya, dengan berbagai macam alasan yangn kadang tidak masuk akal. Kadang yang ada dalam benaknya, mungkin yang boleh bermimpi untuk bisa mencapai cita-cita hanyalah laki-laki saja. Perbedaan gender membuatnya kehilangan kesempatan untuk dapat mencapai cita-citanya. Namun bayang-bayang yang telah diciptakannya selama ini tak dapat hilang, bahkan bayang-bayang itu telah berkembang manjadi semakin indah. Bagaikan lukisan yang dibuat pelukis ahli, dengan cat minyak berharga selangit.
Tidak hanya teman-teman dan orang tuanya, yang dibuat bingung dengan perubahan pada diri Lilin. Tika yang menjadi teman dekatnya saja bingung dengan keadaannya yang tidak biasa itu. Hampir setiap hari sabtu Tika datang, ia biasanya datang setelah kuliah hari sabtu. Tak lain agar bisa menemani Lilin ke wihara pada malam minggunya. Walaupun Lilin selalu ke wihara sendirian setiap harinya. Tika berusaha untuk tetap hadir, walaupun dua minggu sekali untuk menemani Lilin ke wihara. Datang untuk menemani Lilin, selalu dilakukannya dengan senang hati. Dengan datang ke wihara ia bisa juga bertemu dengan Romo Sudhamma atau kalau ada bhante ia dapat bicara panjang lebar dengan bhante. Kedatangannya selalu disambut dengan gembira oleh Lilin. Ia senang sekali bertanya macam-macam pada Tika. Tika dengan senang hati berbagi cerita dengan Lilin, yang selalu bertanya tanpa bosannya tentang kesibukan anak kuliahan. Tentang kesehariannya, hari-hari kuliah, tentang teman- temannya, tentang dosennya yang galak, sampai pada cerita tentang kehidupan Tika di kost-kost-annya. Dengan tanpa melewatkan satupun cerita tentang keseharian Tika selama seminggu. Cerita-cerita seperti itulah, yang biasanya menjadi topik yang sangat menarik bagi Lilin bila Tika datang. Kesenangannya untuk dapat berbagi membuat Tika tak segan-segan untuk bercerita kepada Lilin.
Tika sempat bingung tentang kegemaran Lilin, untuk bertanya seputar kehidupan para mahasiswa. Mula-mula Tika mengira Lilin bertanya tentang hal itu, hanya karena ingin tahu apa saja yang menjadi kegiatan keseharian Tika, waktu hari-hari kuliah. Tapi lama-lama Lilin semakin bersemangat menanyakan hal itu. Sebenarnya Tika senang-senang saja untuk berbagi dengan Lilin, senang melihatnya senang mendengar ceritanya. Hanya itulah yang dapat dilakukannya, berbagi apa yang dapat dibaginya kepada gadis yang disayanginya itu. Ia juga mendengar dari teman- teman Lilin, perubahan sikapnya akhir-akhir ini. Tentang ia sejak beberapa hari ini sering melamun.
Kedatangannya kali ini, Tika bertekad untuk bertanya tentang hal ini kepada Lilin. Seperti biasanya kedatangannya disambut Lilin dengan gembira. Seperti biasa pula ia di todong untuk bercerita tentang kesehariannya. Lilin tidak pernah bosan mendengar cerita-cerita dari Tika, yang sebagian besar sama disetiap harinya. Karena hari ini ia hanya sebentar saja, jadi ia memutuskan untuk bertanya sekarang pada Lilin.
 “Li, aku boleh tidak bertanya?.” Kata Tika membuka pembicaraan setelah mereka terdiam sejenak karena baru saja berhenti tertawa.
“ Emang kamu mau tanya apa sih, kok tumben pake nanya segala biasanya nyerocos saja”
“ Ya sih, tapi sekarang aku mau tanya serius banget”katanya.
“ Ya Sudah tidak apa-apa kok, hamba akan mendengarkannya tuanku Raja Itik.” Candanya.
“ Tapi ini serius”
“Ya, ya”
“ Mengapa kamu suka sekali mendengarkan ceritaku tentang kuliahku dan mengapa kamu suka temenung sendiri? Kamu harus jawab dengan jujur, aku khawatir sama kamu.”
Lilin tidak menjawab pertanyaan Tika, ia malah masuk kekamarnya. Dan tak lama keluar lagi membawa sesuatu dari dalam kamarnya dan menyerahkannya kepada Tika.
“ Kamu boleh membacanya. Tapi nanti hari sabtu waktu kamu kesini, kamu harus mengembalikannya padaku. Hanya kamu yang boleh membacanya, yang lain tidak boleh”
“ Baiklah, hanya aku yang akan membacanya”
“ Apakah kamu sudah makan? Kamu akan nginap kan?.” tanyannya.
“ Belum, tapi hari ini aku harus pulang. Aku hari ini tidak menginap”
“ Baiklah, aku siapin makan dulu ya.” Katanya sambil berlalu menuju dapur.
Tika mengikutinya dengan pandangan matanya, ia telah mengerti bagaimana sosok Lili kalau ditanya tentang sesuatu yang sekiranya sangat penting baginya. Lilin sangat jarang untuk dapat cepat menjawab atau bercerita padanya. Ia mengambil kotak diary Lilin sekaligus kuncinya, lalu memasukkannya ke dalam tasnya.
Setelah makanan sudah siap Lilin memanggil Tika untuk makan. Dan mereka bersama-sama makan tanpa kata-kata. Setelah makan Tika pamit pulang dan berjanji akan mengembalikan Diary Lilin tepat waktu.
“ Li, aku pulang dulu ya. Salam sama kakak, mungkin nanti hari sabtu aku datang lagi dan bawa diarymu. Jaga diri ya, jaga kesehatanmu.” Pesannya.
“ Baik bos, hati-hati ya, salam sama kakakmu dan orang tuamu oke”
“ Oke, nanti tak sampaikan ke calon mertua” candanya. “ Aku berangkat ya” katanya lalu berangkat. Lilin mengikutinya dengan pandangan matanya sampai Tika hilang ditikungan jalan.
***
Sampai di kostnya Tika segera membuka diary Lilin dan membacanya. Halaman pertama berisi tulisan berupa simbol-simbol yang tak dapat dibacanya. Halaman berikutnya tentang curhatnya tentang perjalanan dan perasaan-perasaannya kepada Tika. Membaca diary Lilin seakan masuk kedalam lubuk hati Lilin yang paling dalam, semuanya ada disitu. Pada pertengahan halaman diary itu, baru Tika mendapat jawaban pertanyaannya pada Lilin tadi siang. Di sinilah jawaban mengapa Lilin bergitu berminat sekali mendengar ceritanya tentang kuliahnya dan mengapa ia sering termenung.

25 April
Diary kesayanganku
 aku ingin curhat nih sama kamu. Diaryku aku ingin kuliah, apa keinginanku itu salah? aku ga’ bisa ngebohongin diriku sendiri. Tapi aku harus bagaimana lagi?, sedangkan aku ga’ punya sesuatu yang bisa diandalin. Aku ingin sekali seperti yang  lainnya. Bahkan sebelum lulus mereka sudah merencanakan dan terlebih lagi orang tua mereka sudah merencanakan dan mendukung dan mendorong mereka untuk lebih bersemangat.tapi aku tidak seperti mereka. Aku ingin sekali mendengar itu dari orang tuaku, tapi tidak pernah terjadi.
  
29 April
Diaryku sayang. Gimana ya? Kayaknya aku iri sama teman-teman yang lain. Apalagi orang-orang nanya,” kamu kuliah dimana?” tentu aku ga’ bisa jawab dengan benar. Kemarin Tiya nanya aku jadi kuliah dimana?, aku bingung banget mau jawab apa, kalau aku ingin sekali kuliah, dimana saja aku mau. Tapi yang jadi masalah aku tidak di ijinkan  untuk kuliah. Mungkin aku tak bisa kuliah. Mungkin juga tuhan berkehendak lain yang tak pernah diduga- duga.
 


Itu adalah sebagian isi diary Lilin, selain rasa sedihnya terhadap apa yang selama ini ia rasakan. Tantang keinginannya untuk kuliah, mencapai cita-citanya, tentang bayang-bayang yang di ciptakannya, yang indah, menyenangkan, dan menantang. Dalam diary ini juga ia berbagi sukha dukkhanya. Seakan-akan diary-nya adalah teman yang setia tempatnya berbagi, walaupun ia tak dapat menanggapi apa yang selalu menjadi curhatan Lilin. Dalam diarynya juga di tulisnya hanya diary-nya temannya berbagi tentang sedih dan senangnya. Setelah membaca diary Lili, barulah ia sadar apa yang ditahunya tentang Lilin hanyalah sebagian kecil dari apa yang ada dalam pribadinya. Ia merasa prihatin dengan apa yang menjadi keinginan Lilin, karena tidak semua orang seperti dia. Seorang gadis yang ingin melakukan sesuatu untuk masa depannya, tapi tak ada yang peduli dengan keinginannya itu.
***
Dengan susah payah Tika, mencari dan mencari informasi dari teman dan sahabat tentang perkuliahan yang cocok buat Lilin, dan agar orang tuanya tidak khawatir. Beberapa bulan kemudian Tika mendapat kabar gembira. Lilin akan dapat kuliah, ia tidak Kost, ia harus tinggal di asrama. Tinggal di asrama, tentu tidak akan ada alasan lagi dari orang tua dan kakak-kakaknya untuk melarangnya kuliah. Tika berpikir bahwa ini kesempatan buat Lilin, dan cocok sekali buatnya. Hanya dengan merelakan Lilin untuk kuliah disana, adalah jalan satu-satunya untuk membuktikan, bahwa ia juga ingin Lilin melihat secara pasti. Bayang-bayang yang selama ini mengganggunya. Agar bayang-bayang itu tak hanya semu, agar bayang-bayang itu nyata. Selama ini Lilin tidak mendapat izin dari orang  tua dan kakak-kakaknya hanya karena khawatir dengan keselamatan Lilin, karena tidak pernah kost apalagi jauh di luar pulau. Tika segera mengabari Lilin tentang berita gembira ini.
“ Benarkah. Aku bahagia sekali mendengarnya!” sahut Lilin ketika mendengar kabar itu dari Tika, jantungnya berdetak kencang, sudah lama sekali kabar seperti ini ingin didengarnya. Yang selama ini menjadi kendala dalam keinginannya untuk kuliah hanyalah alasan keselamatannya. Sekarang tinggal di asrama, jadi tak ada alasan lagi orang tua dan kakak-kakaknya melarangnya untuk kuliah.
“ Ya, aku memberi tahumu karena aku yakin kamu mau, dan aku yakin kamu pasti bisa menjalaninya. Aku juga sudah bicara dengan kakak, kakak setuju kalau kau kuliah disana.” Tika meyakinkannya.
“ Tapi tak apa-apa kan kalau aku meninggalkan mu?”
“Li, aku tidak apa-apa kalau kau tinggalkan. Sudah ya, kamu harus siap-siap hari minggu kamu harus berangkat kesana.”
“ Tapi kok cepat sekali?. Kamu akan datang kan?, aku ingin kau datang?” pintanya.
“ Aku tak bisa, aku minggu ini full kuliah. Aku tak bisa meninggalkan kuliahku. Tidak apa-apakan kalau aku tidak datang?”
“ Baiklah tidak apa-apa, kuliahmu jangan di sia-siakan. Ya sudah terimakasih ya atas pemberitahuanmu”
“ Ya, hati-hati ya. Aku harap kamu jangan sia-siakan kesempatan ini”
“ Ya.” Lalu terdengar telepon diputus.
Lilin dengan sangat senang memberitahu kakaknya bahwa ia mau kuliah disana. Semua yang diberitahunya tentang keinginannya untuk mengikuti perkuliahan itu setuju. Sejak jauh hari ia menyiapkan apa saja yang harus dibawanya. Diantara beberapa helai pakaian yang dibawanya ada fotonya bersama teman-temannya SMA dulu.
Pada hari keberangkatannya, banyak teman-temannya yang datang selain kakaknya. Lilin pergi tanpa ada air mata yang mengiringi kepergiannya. Tanpa mengetahui, agak jauh dari tempatnya berdiri ada seseorang  yang memperhatikannya. Air mata mengambang dipelupuk matanya, terasa berat sekali ia melepas kepergian gadis kesayangannya itu. Tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam ia harus melepas kepergiannya, karena dia tahu itu adalah jalan terbaik dan satu-satunya cara agar Lilin dapat mencapai cita-citanya, untuk dapat kuliah. Air matanya menetes seiring hilangnya sepeda motor yang mengantar kepergian Lilin dari pandangan. Dalam hati ia berdoa, semoga Lilin dapat melakukan yang terbaik dan dapat mencapai cita-citanya. Tika merelakannya pergi, agar Lilin dapat melihat dengan pasti bayangan itu, tidak hanya bayangan semu.

No comments:

Post a Comment