Oleh: Nanang Sutrisno
Pendidikan
merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya
masyarakat Buddhis di Indonesia. Mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah
Menengah Atas (SMA) pelajaran agama Buddha telah dimasukkan ke dalam daftar
mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik.
Pengadaan
pelajaran agama Buddha di sekolah-sekolah merupakan hal yang sangat penting.
Karena pelajaran tersebut selain memberikan pengetahuan tentang agama Buddha
kepada para peserta didik secara teoritis, juga sebagai sarana untuk menanamkan
sifat-sifat baik pada diri peserta didik melalui pelajaran tentang moralitas
Buddhis yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bekal untuk
menjalani kehidupan dimasa mendatang.
Untuk dapat
mewujudkan hal tersebut, seyogiyanya seorang guru dapat mengerti dan memahami
hal-hal yang harus diperhatikan dalam memberikan pelajaran Dhamma kepada
peserta didik seperti yang diutarakan Sang Buddha dalam Udāyī Sutta, Aṅguttara
Nikāya. Terdapat lima hal yang hendaknya dimengerti dan dipahami sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran. Kelima hal tersebut,
yaitu:
1.
Anupubbiṁ kathaṁ kathessāmī’ ti paresaṁ dhammo desetabbo: ‘saya
akan memberikan khotbah yang bertingkat’, dengan cara itulah seharusnya Dhamma
diajarkan kepada orang-orang lain.
Hal ini berarti
bahwa seorang guru hendaknya memberikan pelajaran dari hal-hal yang mudah
kemudian dilanjutkan kepada hal-hal yang sulit. Model pembelajaran bertahap
tersebut seperti yang dilakukan oleh Sang Buddha ketika Beliau mengajarkan anupubbikathā
yang diawali dari dāna-kathā (kemurahan hati), sīla kathā
(kemoralan), sagga-kathā (kebahagiaan alam surga), kāmādinava-kathā
(bahaya di dalam kesenangan indera), dan nekkhammānisaṁsa-kathā (faedah
peninggalan terhadap kesenangan indera).
Pelajaran
bertahap ini dapat membantu peserta didik dalam menerima pelajaran yang
diberikan oleh guru. Hal ini dikarenakan seorang peserta didik akan lebih
antusias dalam proses pembelajaran apabila pembahasan yang diberikan guru
dirasa mudah dan menarik. Berawal dari hal-hal yang mudah itu kemudian
dijadikan sebagai batu loncatan untuk melanjutkan kepada tahapan-tahapan
berikutnya yang lebih sulit.
2.
Pariyāyadassāvī kathaṁ kathessāmī’ ti paresaṁ dhammo desetabbo: ‘saya
akan memberikan khotbah yang masuk-akal’, dengan cara itulah seharusnya Dhamma
diajarkan kepada orang-orang lain.
Dalam memberikan
penjelasan mengenai materi yang disampaikan seorang guru hendaknya mampu
menganalisis apakah materi tersebut masuk akal atau tidak. Yang dimaksud dengan
masuk akal di sini adalah bahwa pelajaran tersebut dapat dijangkau oleh pikiran
orang yang diberikan pelajaran tersebut. Hal ini seperti ketika Sang Buddha
mengajarkan Dhamma. Beliau selalu memberikan khotbah yang sesuai dengan
kebutuhan pendengarnya.
Pada saat
memberikan ceramah kepada Ratu Khema yang memiliki kesombongan karena
kecantikannya Sang Buddha menjelaskan tentang ketidak kekalan dari tubuh
manusia. Sang Buddha menggunakan kekuatan batin-Nya memunculkan sesosok manusia
yang sangat cantik di sebelah Beliau. Kemudian sesosok manusia tersebut berubah
menjadi tua dan meninggal hingga mayatnya hancur tanpa sisa. Mengetahui hal tersebut
perlahan-lahan kesombongan Ratu Khema mulai memudar. Hingga akhirnya setelah
mengetahui kenyataan dari proses hancurnya tubuh ini, Ratu Khema memohon untuk
diterima menjadi seorang bhikkhuni kepada Sang Buddha.
Cerita tersebut
hanya salah satu contoh pemberian materi pelajaran yang sesuai dengan
pendengarnya. Bagi seorang guru haruslah dapat mengetahui latar belakang siswa
yang diberikan pelajaran. Dengan demikian maka guru tersebut dapat memberikan
pelajaran yang sesuai dengan apa yang dapat diterima oleh para peserta
didiknya.
3.
Anuddayataṁ paṭicca kathaṁ kathessāmī’ ti paresaṁ dhammo desetabbo: ‘saya
akan berbicara karena tergerak oleh simpati’, dengan cara itulah seharusnya
Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
Dalam
menyampaikan pelajarannya seorang guru hendaknya harus didasari dengan niat
yang baik, yaitu niat untuk membantu para peserta didiknya agar dapat maju dan
berkembang. Seperti dari kalimat dalam Aṅguttara Nikāya di atas seorang guru
yang baik akan mengajarkan pelajarannya karena tergerak oleh rasa simpati. Rasa
simpati tersebut dapat berupa keinginan untuk membantu peserta didiknya
memahami pelajaran yang ia berikan yaitu dengan cara bersikap sabar dan ulet
pada saat proses belajar mengajar.
4.
Na āmisantaro kathaṁ kathessāmī’ ti paresaṁ dhammo desetabbo: ‘saya
akan berbicara bukan demi keuntungan duniawi’, dengan cara itulah seharusnya
Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
Kalimat dalam
Aṅguttara Nikāya tersebut dapat berarti juga bahwa seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya tidak hanya memikirkan keuntungan duniawi yang ia peroleh tetapi
hendaknya juga memikirkan kualitas yang ia miliki sebagai seorang tenaga
pengajar yang profesional. Pekerjaan menjadi seorang guru seharusnya dijadikan
sebagai suatu kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang lebih
banyak, karena seorang guru membantu para peserta didiknya agar dapat
berkembang dan dapat mencapai kemajuan dalam hidupnya.
5.
Attānañca parañca anupahacca kathaṁ kathessāmī’ ti paresaṁ dhammo desetabbo: ‘saya
akan berbicara tanpa menyindir diri sendiri atau orang lain’, dengan cara
itulah seharusnya Dhamma diajarkan kepada orang-orang lain.
Untuk menjelaskan
pelajaran yang dirasa cukup sulit, biasanya seorang guru akan menggunakan
contoh-contoh. Tanpa disadari terkadang contoh yang digunakan menyinggung orang
lain atau menyinggung dirinya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan para peserta
didik yang sedang mengikuti pelajaran tersebut merasa tidak nyaman.
Dalam hal ini ada
dua dampak apabila seorang guru menggunakan contoh-contoh yang menyinggung
orang lain maupun diri sendiri. Pertama, apabila guru tersebut
menggunakan contoh yang menyinggung orang lain maka di mata peserta didiknya
guru tersebut memiliki citra yang kurang baik karena peserta didiknya akan
menganggap bahwa gurunya senang membicarakan kekurangan-kekurangan orang lain.
Dengan demikian rasa hormat peserta didik kepada guru tersebut akan berkurang
dan akan berakibat pelajaran yang diberikan oleh guru tersebut akan diabaikan. Kedua,
apabila seorang guru sering menggunakan contoh-contoh yang menyinggung diri
sendiri maka pseserta didiknya pun akan bosan mendengarkannya karena
pelajarannya hanya begitu-begitu saja. Pelajaran yang disampaikan menjadi
terasa monoton karena setiap memberikan contoh guru tersebut selalu
menceritakan tentang dirinya sendiri.
Kelima hal
tersebut hendaknya benar-benar diperhatikan oleh seorang guru agama Buddha
dalam menyampaikan pelajaran. Dengan menerapkan kelima hal tersebut maka
diharapkan pelaksanaan pembelajaran akan menjadi lancar dan pelajaran pun dapat
diserap oleh para pserta didik dengan maksimal.
Menjadi seorang
guru yang dijadikan figur teladan bagi para peserta didiknya haruslah membuat
seorang guru lebih berhati-hati dalam berpikir, berucap, maupun melakukan
tindakan secara jasmani. Hal-hal yang telah diuraikan di atas merupakan panduan
yang sangat baik bagi seorang guru dalam memberikan pelajaran kepada para
peserta didiknya. Dengan menerapkan kelima hal tersebut seorang guru akan lebih
mudah menyampaikan pelajaran kepada peserta didik, dan para peserta didiknya
pun menjadi lebih mudah menerima apa yang ia sampaikan. Semoga tulisan ini
dapat memotivasi para guru agama Buddha untuk terus meningkatkan kualitasnya
dalam hal pengajaran, sehingga dapat menunjang perbaikan kualitas pendidikan
agama Buddha di Indonesia. Semoga Semua Makhluk Berbahagia. Sabbe Sattā
Bhavantu Sukhitattā. (Kant’s)
Referensi: Nyanaponika Thera dan Bhikkhu
Bodhi. Petikan Aṅguttara Nikāya 2 (alih bahasa oleh Wena Cintiawati dan
Lanny Anggawati). Klaten: Vihāra Bodhivaṁsa dan Wisma Dhammaguṇa. 2003.
Jangan lupa komen..
ReplyDeleteterimakasih pak. mantab artikelnya
ReplyDelete